BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com — Adanya kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oknum pengasuh Lembaga Pendidikan di Balikpapan Utara kepada belasan anak didiknya, juga mendapat tanggapan dari berbagai pihak.
Ketua Yayasan Psikologi Clarinta Balikpapan, Dwita Salverry mengatakan, jika bicara kekerasan pada anak, jangankan kekerasan seksual, kekerasan verbal saja yaitu kata-kata kasar, hinaan, merendahkan dan lain-lain akan memberikan dampak psikologis pada anak.
“Anak itu sedang dalam masa perkembangan dimana setiap tahap usia perkembangan ada tugas perkembangan yang harus dicapai anak dan harus distimulasi dengan baik oleh orang tua,” ujar Dwita Salverry kepada media, Rabu (13/10/2021).
Dwita menambahkan, jika stimulan yang didapat adalah kekerasan apalagi kekerasan seksual yang secara fisik akan berdampak seumur hidupnya, tentu saja akan membawa berbagai dampak psikologis pada anak karena setiap stimulan yang tidak menyenangkan akan menimbulkan tekanan pada anak atau biasa dikenal stress.
“Pada tingkat yang melewati batas pertahanan diri anak akan membuat depresi dan pada akhirnya akan menjadi gangguan stres pasca trauma, kondisi yang kompleks dan mempengaruhi somatic, kognitif, afektif dan perilaku yang disebabkan oleh trauma psikologis,” jelasnya.
Kata Dwita gangguan stres pasca trauma ini merupakan reaksi berkepanjangan yang berlangsung lama yaitu lebih dari 1 bulan dan bisa muncul dengan gejala yang serupa dengan profil gangguan stress akut, tapi bisa berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
“Gejala gangguan stres termasuk ingatan yang mengganggu, menghindari pengingat peristiwa traumatis, perubahan negative dalam kognisidan suasana hati, dan ditandai dengan perubahan dalam gairah dan reaktifitas,” imbuhnya.
Lebih lanjut dirinya menerangkan, gejala-gejala ini umumnya muncul segera setelah peristiwa traumatis itu terjadi namun terkadang berkembang setelah beberapa waktu kemudian . Mayoritas individu yang terkena peristiwa traumatis akan pulih dari gejala psikologis yang bersifat sementara tanpa intervensi.
“Jadi jika anak mengalami peristiwa traumatis sementara anak sebelumnya berada pada situasi stress karena berbagai sebab sebelumnya yang sudah menimbulkan tekanan psikis padanya , dan atau kepribadiannya tipe tertutup kondisi-kondisi ini akan memparah dampak traumatis yang diterimanya,” bebernya.
Untuk itu tentu bisa dilihat bagaimana besarnya bahaya jika anak yang mengalami peristiwa traumatic berat seperti kekerasan seksual dan tidak mendapatkan penanganan ahlinya maka dampaknya baik pada aspek gangguan tidur, gangguan makan, badan sakit semua, merasa lemas yang akhirnya akan berdampak pada cara merasa dan cara bertindak dan menjadi perilaku maladaptive bahkan bisa ke perilaku menyakiti diri.
“Pada anak-anak balita biasanya akan memperlihatkan masalah kelekatan, gangguan tidur, cemas perpisahan, gejala regresif seperti mengisap jempol, kecemasan menyeluruh atau ketakutan yang tidak terkait traumatis,” tambah Dwita yang juga ketua Yayasan Psikologi Clarinta.
Sedangkan pada anak usia dini atau pra sekolah ataupun sekolah cenderung memperlihatkan hal diantaranya memperagakan kembali peristiwa traumatic yang dialami melalui bermain, terbentuk ketakutan-ketakutan baru tidak punya emosi,dan menghindari situasi, tempat, ataupun orang yang mengingatkannya akan peristiwa traumatic itu.
“Pada anak remaja selain gejala di atas dampak yang mungkin timbul adalah kepatuhan atau penarikan diri yang berlebihan, meningkatnya agresifitas, mencari kebebasan terlalu awal, meningkatnya resiko untuk jadi kenakalan remaja,” tutupnya.