JAKARTA, Inibalikpapan.com – Glorifikasi terhadap bebasnya pelaku kekerasan seksual (KS) oleh sejumlah lembaga penyiaran, mendapat kritik luas dari masyarakat dalam sepekan terakhir. Penyebabnya, lembaga penyiaran dinilai tidak memiliki empati pada korban dan menormalisasi perilaku kekerasan seksual. 

Tayangan yang menormalisasi kekerasan seksual tersebut tentunya bukan kali pertama. Pada Juni 2021 lalu, salah satu televisi nasional juga menayangkan sinetron yang menampilkan cerita tentang istri ketiga yang masih di bawah umur. Sinetron tersebut melanggengkan dan memonetisasi praktik perkawinan anak.

Bidang Penyiaran Alinsi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai akar masalah dari dua tayangan tersebut adalah abainya lembaga penyiaran selama ini terhadap kepentingan publik dan hanya berorientasi untuk mencari keuntungan semata.

Padahal lembaga penyiaran beroperasi menggunakan frekuensi publik. Seperti halnya kekayaan alam Indonesia seperti hutan, tanah, mineral, laut, serta sumber daya alam lainnya, frekuensi publik dimiliki oleh publik. Sehingga sumber daya milik publik tersebut, harus dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan publik.

Indonesia saat ini berada dalam situasi darurat kasus kekerasan seksual. Tayangan yang menormalisasi kekerasan seksual justru dapat melanggengkan tindakan tersebut di masyarakat. Selain itu, tayangan semacam ini dapat berdampak serius bagi psikologis dan masa depan para korban.

AJI menilai aspek kepentingan publik oleh lembaga penyiaran harus diperkuat dalam revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia sejak akhir Agustus 2021. AJI menjadi salah satu lembaga yang hadir memenuhi undangan KPI untuk memberikan masukan atas draft revisi P3SPS tersebut pada 30 Agustus 2021.

P3SPS ditujukan kepada lembaga penyiaran sebagai pedoman dalam mengurus operasional manajerialnya. Dan Standar Program Siaran (SPS) mengatur lembaga penyiaran agar mengikuti standar dalam memproduksi isi siarannya. Selain itu, P3SPS juga menjadi dasar bagi KPI untuk mengawasi kinerja lembaga penyiaran, menilai isi siarannya, dan memberi sanksi atas pelanggaran-pelanggarannya.

Ketentuan soal kepentingan publik diatur pada Pasal 36 P3SPS yang berbunyi: “Kepentingan Publik adalah kepentingan bangsa dan negara serta seluruh rakyat sesuai dengan arah, fungsi dan tujuan penyiaran yang berlandaskan pada peraturan perundang-undangan.”

AJI berpandangan ketentuan mengenai kepentingan publik harus dijelaskan lebih eksplisit. Kepentingan publik bukan soal siapa kelompok mayoritas melainkan tentang keadilan. Di dalamnya harus dipertegas bentuk perlindungan bagi kelompok masyarakat marjinal termasuk korban kekerasan seksual.

Dari situasi tersebut, Bidang Penyiaran AJI Indonesia mendesak beberapa pihak yakni seluruh lembaga penyiaran untuk tidak mengulangi tayangan yang berisi kekerasan seksual maupun bernuansa menormalisasi perilaku tersebut. Sebaliknya, lembaga penyiaran harus menghadirkan isi siaran yang mengedukasi tentang kesetaraan gender, melindungi korban kekerasan seksual, dan mengkritik kebijakan yang berpotensi menyuburkan kekerasan seksual.

Lalu kepada Komisi Penyiaran Indonesia untuk tetap berkomitmen menjadikan kepentingan publik sebagai orientasi pertama dalam menyusun revisi SP3SPS, mencegah praktik buruk isi siaran, lebih aktif mengawasi dan  memberikan sanksi tegas pada lembaga penyiaran yang melanggar aspek kepentingan publik.

Comments

comments

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Exit mobile version