Akademisi dan Aktivis di Samarinda Soroti Ancaman Serius bagi Demokrasi
SAMARINDA, Inibalikpapan.com — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan bersama Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (SAKSI FH UNMUL) dan Jurnal PRISMA meluncurkan edisi terbaru Jurnal Prisma sekaligus menggelar diskusi publik bertema “Hubungan Sipil dan Militer dalam Demokrasi: Menguatnya Militerisme dan Ancaman Kebebasan” di Aula Fakultas Hukum Universitas Mulawarman. Acara dibuka langsung oleh Dekan FH Unmul, Rosmini.
Militerisme Dinilai Menguat Sejak 2018
Gina Sabrina dari Tim Advokasi Reformasi Sektor Keamanan memaparkan bahwa tanda-tanda menguatnya militerisme terlihat nyata sejak 2018 hingga 2025. Ia mencatat sejumlah peristiwa yang menunjukkan pembatasan ruang berekspresi, mulai dari penyitaan buku-buku komunisme, keterlibatan prajurit TNI dalam aksi demonstrasi besar, hingga dugaan infiltrasi pada aksi protes Agustus 2025.
“Pemerintah mulai mengedepankan pendekatan koersif terhadap kritik publik,” ujarnya. Ia juga menyoroti masuknya TNI ke ruang akademik melalui MoU dengan berbagai kampus serta intervensi dalam diskusi-diskusi mahasiswa terkait revisi UU TNI. Menurutnya, hal ini memicu “teror ketakutan” yang dapat mendorong sivitas akademika melakukan self-censorship.
Akademisi UNMUL: Pola Orde Baru Mulai Terlihat Lagi
Akademisi FISIP Unmul, Saiful Bahri, melihat kecenderungan militerisme justru menguat pada pemerintahan sipil. Ia membandingkan era SBY—berlatar militer namun dinilai menjaga sendi demokrasi—dengan rezim Jokowi yang menurutnya membuka kembali ruang-ruang militerisasi.
Saiful mencontohkan kondisi di Kalimantan Timur, di mana bisnis tambang ilegal dan penguasaan lahan sawit diduga melibatkan figur aktif maupun purnawirawan militer dan kepolisian. “Luka sejarah tak boleh terulang,” tegasnya.
Reformasi Peradilan Militer Dinilai Buntu
Ketua SAKSI FH Unmul, Orin Gusta Andini, menyoroti stagnasi reformasi peradilan militer. Pembedaan antara subjek hukum sipil dan militer dalam proses peradilan dinilai diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi.
Ia menilai model peradilan saat ini menciptakan ruang impunitas, termasuk dalam kasus korupsi Basarnas, ketika perkara ditarik ke mekanisme militer. “Negara-negara seperti Inggris, Jerman, dan Australia memisahkan peradilan berdasarkan tindak pidana, bukan subjek hukumnya,” ujarnya.
Imparsial: 133 MoU TNI Disebut Ancam Supremasi Sipil
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menegaskan bahwa Indonesia berada dalam “bayang-bayang ancaman militerisme”. Menurutnya, lebih dari 133 MoU TNI dengan kementerian dan lembaga negara menunjukkan perluasan peran militer di luar fungsi pertahanan yang melanggar UU TNI.
Kondisi ini mengingatkan kembali pada pola Orde Baru, ketika militer menjadi aktor dominan di banyak sektor. Ardi juga menyoroti lonjakan anggaran pertahanan 2025 mencapai Rp247,5 triliun, yang menurutnya menggeser orientasi negara dari kesejahteraan menuju politik kontrol keamanan.
Peringatan Keras untuk Masa Depan Demokrasi
Para pembicara sepakat bahwa tanpa pembatasan yang jelas, transparansi anggaran, serta supremasi sipil yang kuat, demokrasi Indonesia kian terancam. Mereka menegaskan perlunya reformasi sektor keamanan yang berbasis prinsip HAM, akuntabilitas, dan kontrol publik. ***
BACA JUGA
