Aku, Semarang dan Ceritanya

Simpang Lima Semarang
Simpang Lima Semarang

SEMARANG, Inibaikpapan.com – Sudah dua pekan aku memilih tinggal di Semarang. Sejak minggu pertama Desember, hingga kini, ketika Natal 2025 kian dekat. Biasanya, kota ini hanya menjadi tempat singgah—sekadar jeda sebelum benar-benar “pulang” ke Jepara.

Kadang aku datang karena pekerjaan. Kadang karena urusan lain. Tak jarang pula sekadar berlibur, menyusuri sudut-sudut kota yang identik dengan lumpia dan bangunan tuanya. Namun kali ini berbeda. Aku tinggal. Menetap, meski sementara.

Semarang memang bukan kota biasa. Setidaknya bagiku. Ia berbeda dengan banyak kota lain di Pulau Jawa. Bukan hanya karena bentang geografisnya—perpaduan dataran rendah dengan jalan-jalan menanjak dan perbukitan—tetapi juga karena ritmenya. Persimpangan di mana-mana. Lampu merah yang seolah tak pernah habis. Kota ini bergerak cepat, namun tetap menyimpan jeda.

Tak heran bila dahulu Belanda menjulukinya Venetie van Java—Venesia dari Jawa. Sungai dan kanal menjadi bagian dari sejarah panjangnya. Jejak kolonial berpadu dengan budaya Jawa, tercermin dari bangunan-bangunan tua di Kota Lama, Lawang Sewu yang megah, hingga Pasar Johar yang selalu hidup. Secara administratif, Semarang membentang seluas 373,70 kilometer persegi—luas yang menyimpan banyak cerita.

Yang paling terasa, Semarang adalah kota dengan nilai toleransi yang kuat. Ia pernah diganjar Harmony Award, sebuah pengakuan atas keberhasilannya menjaga kerukunan umat beragama. Kota ini kini dipimpin oleh seorang perempuan, Agustina Wilujeng Pramestuti, seorang Katolik, di tengah mayoritas beragam Islam. Penduduknya sekitar 1,8 juta jiwa. Sebuah potret keberagaman yang hidup, bukan sekadar slogan.

Menjelang Natal, suasana itu kian terasa. Toko-toko kecil, UMKM, hingga pusat perbelanjaan mulai memasang pernak-pernik khas: pohon Natal mini dengan lampu-lampu berkelip. Di Kota Lama, sebuah pohon Natal besar berdiri mencuri perhatian. Di beberapa mal yang kukunjungi, lagu-lagu bernuansa Natal dan rohani terdengar bersahutan, menyelip di antara hiruk-pikuk belanja akhir tahun.

Semarang padat. Sangat padat. Seolah kota-kota lain di Jawa Tengah bergantung padanya sebagai pusat denyut kehidupan. Sebagai ibu kota provinsi yang usianya telah menginjak 478 tahun, Semarang bukan hanya tempat tinggal, tapi juga tujuan.

Dari obrolan-obrolan kecil dengan orang-orang yang kutemui, aku menyadari satu hal: banyak yang hidupnya bergantung pada kota ini, meski tidak benar-benar tinggal di dalamnya.

Daniel, misalnya. Seorang pengemudi ojek online (mobil). Ia tinggal di Salatiga, namun setiap hari mencari nafkah di Semarang.

“Setiap hari saya pulang pergi Semarang–Salatiga. Berangkat jam tujuh pagi. Malam tetap pulang,” katanya, datar, seolah itu rutinitas biasa.

Seorang kurir yang mengantar barang pesananku bahkan tinggal di Pati. Setiap hari, katanya, ia bolak-balik Semarang–Pati.

Rekanku beberapa tahun lalu, saat kami masih bekerja di perusahaan yang sama, tinggal di Kendal. Ia menempuh perjalanan Semarang–Kendal setiap hari dengan sepeda motor. Baginya, itu bukan beban—hanya kebiasaan.

Seorang perempuan muda yang bekerja di sebuah bank juga mengaku bukan warga Semarang. Alamat KTP-nya berasal dari daerah lain. Ia bekerja di kota ini, hidup dari kota ini, namun secara administratif bukan bagian darinya.

Kota ini juga terkena pukulan ekonomi seperti yang terjadi di beberapa daerah lain. Terlihat, kontras banyak sektor usaha besar maupun kecil yang terpaksa guling tikar.

Beberapa, rumah makan atau kuliner dan warung kecil yang berusaha bertahan. Begitupun, dengan bisnis fashion. Salah satu penyebabnya terlihat daya beli masyarakat yang turun.

Saya sempat mengunjungi beberapa pusat perbelanjaan, terlihat para penjaga stand hanya berdiri, melihat pengunjung lalu-lalang. Kalau pun sempat mampir, hanya melihat sekilas.

Salah satu pusat perbelanjaan di Simpang Lima yang dikenal berjualan HP, laptop dan sebagainya, terlihat banyak kios-kios yang tutup. Bahkan terlihat, sepi pengunjung.

Hal itu terjadi mungkin karena kombinasi faktor seperti inflasi yang menggerus pendapatan riil, tingginya biaya hidup, gelombang PHK yang menambah pengangguran, dan pendapatan riil yang stagnan. Meski masih terlihat ekonomi bergeliat, namun seperti jalan ditempat.

Masyarakat nampaknya, lebih memprioritaskan kebutuhan pokok. Sehingga banyak mengurangi belanja kebutuhan lain yang non-esensial. Kalau pun berbelanja , mencari produk yang murah.

Sementara, di sisi lain terlihat jelas jurang sosial antara si miskin dan si kaya. Dari beberapa lampu merah banyak terlihat badut jalanan, yang mengharap belas kasihan pengendara.

Berdasarkan data terbaru BPS pada Maret 2025, menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Semarang sekitar 74,36 ribu jiwa atau 3,80%.

Belum lagi, hampir setiap lapak, pertokoan, kuliner dan sudut-sudut jalan selalu ada juru parkir (jukir) liar. Begitupun mereka yang berdiri mengatur lalu lintas di perimpangan.

Kebetulan di Semarang saya mengendarai, sepeda motor. Setiap kali mencari tempat makan atau berkunjung ke suatu tempat selalu mengeluarkan Rp 1.000 hingga Rp 3.000 untuk sekali parkir.

Semarang, akhirnya, bukan hanya tentang siapa yang tinggal. Tapi tentang siapa yang bergantung. Kota ini menjadi rumah bagi banyak orang—meski tidak selalu tertulis di kartu identitas.

Dan aku, untuk sementara, menjadi salah satu di antaranya

Catatan Pimpinan Redaksi

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses