Amnesti dan Abolisi Tom Lembong dan Hasto Adalah Hak Konstitusional Presiden, Bukan Privilege Politik

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman

JAKARTA, Inibalikpapan.com – Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto bukanlah bentuk keistimewaan politik, melainkan pelaksanaan hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Ia menyebut, langkah Presiden Prabowo Subianto tersebut adalah konstitusional dan memiliki preseden historis yang kuat.

“Ini bukan soal hukum semata, tapi konstitusi. Pasal 14 UUD 1945 secara jelas memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi,” ujar Habiburokhman dalam pernyataan videonya yang dikutip dari laman DPR

DPR Hanya Memberikan Pertimbangan, Bukan Pengesahan

Politikus Partai Gerindra itu menjelaskan bahwa dalam mekanisme amnesti dan abolisi, Presiden memutuskan terlebih dahulu, lalu meminta pertimbangan kepada DPR—bukan sebaliknya. Dengan demikian, persetujuan DPR bukan sebagai penentu mutlak, tetapi dukungan terhadap keputusan strategis kepala negara.

Ia menegaskan, langkah seperti ini bukanlah hal baru. Sejak era Soekarno hingga Jokowi, amnesti dan abolisi telah menjadi instrumen kenegaraan untuk meredam ketegangan politik, mengatasi persoalan hukum yang tidak substansial, dan menjaga stabilitas nasional.

Bukan Kasus Berat, Tidak Ada Kerugian Negara

Terkait Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, Habiburokhman menekankan bahwa keduanya tidak terlibat tindak pidana berat, apalagi yang merugikan keuangan negara. Ia menilai mens rea (niat jahat hukum) dalam kasus Tom Lembong sangat lemah, sedangkan Hasto tidak terbukti melakukan obstruction of justice.

“Tidak ada aliran dana, tidak ada kerugian negara. Ini bukan kasus besar. Jadi secara hukum, tidak signifikan,” ungkapnya.

Ia menilai kegaduhan yang timbul justru lebih bersifat politis daripada substansi hukum. Langkah Presiden Prabowo, menurutnya, lebih mengedepankan persatuan dan stabilitas nasional, ketimbang melanggengkan konflik yang berlarut-larut.

Preseden Historis: Dari Soekarno hingga Jokowi

Habiburokhman merinci sejarah panjang amnesti dan abolisi di Indonesia:

  • Soekarno: Keppres No. 449/1961 untuk tokoh gerakan pasca-kemerdekaan seperti Daud Beureuh dan Kartosuwiryo.
  • Soeharto: Keppres No. 63/1977 untuk pemberontak Fretilin di Timor Leste.
  • Habibie: Keppres No. 123/1998 untuk tokoh oposisi dan separatis Aceh.
  • Gus Dur: Keppres No. 159/1999 dan 93/2000 untuk aktivis reformasi dan pengkritik pemerintah.
  • SBY: Keppres No. 22/2005 untuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
  • Jokowi: Tiga Keppres (2016, 2019, 2021) untuk korban kriminalisasi UU ITE seperti Baiq Nuril dan Saiful Mahdi, serta eks kombatan Din Minimi.

“Jadi bukan hal baru. Ini tugas kenegaraan yang dijalankan sesuai konstitusi dan kebutuhan bangsa,” pungkas Habiburokhman.

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses