JAKARTA, Inibalikpapam.com –  Sepanjang 2021Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan, terjadi 393 peristiwa berkaitan dengan pelanggaran kebebasan berekspresi.

Dilansir dari suara.com jaringan inibalikpapan.com, Perwakilan KontaS Rozi Brilian mengatakan, tindakan paling dominan adalah penangkapan secara sewenang-wenang dengan total 165 kasus.

“Diikuti oleh pembubaran paksa dengan 140 kasus,” kata Roz Ddlam siaran virtual hari ini, Kamis (6/1/2022

KontraS juga mencatat, polisi masih menjadi dominan dari ragam pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi tersebut. Bahkan, tindakan represi pihak kepolisian menyasar masyarakat sipil yang sedang mengkritik dan menyeimbangkan diskursus negara.

“Sasaran utama dari represi tersebut ialah masyarakat yang sedang mengkritik dan menyeimbangkan diskursus negara,” ujarnya.

KontraS mencatat ada 10 tindakan hingga kebijakan yang justru menakut-nakuti warga dalam berekspresi. Pertama, terbitnya Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 tentang Penanganan Penghinaan Pejabat dan Hoaks Penanganan Covid-19 tanggal 4 April 2020.

“Surat ini tentu berbahaya sebab akan membuka celah bagi kepolisian untuk melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power,” ujarnya lagi.

Lalu Surat Telegram Kapolri Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tentang Patroli Cyber Isu RUU Cipta Kerja. Dalam catatan KontraS, surat telegram itu semakin menunjukan watak represif institusi Kepolisian dalam menyikapi suara yang berbeda dengan narasi pemerintah.

Kemudian, patroli siber atau virtual police sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.

“Seharusnya penindakan diperuntukkan bagi mereka yang melakukan tindakan kriminal lewat media sosial, seperti penipuan online, pelecehan secara daring, dan lain-lain,” beber Rozi.

Kriminalisasi dengan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan yang begitu diskriminatif dalam penggunaan pasalnya. Kelima adalah maklumat Kapolri Nomor MAK/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Pebijakan pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona atau Covid-19.

Surat Telegram Nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tentang Pelaksanaan Peliputan Bermuatan Kekerasan dan atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik. Hal itu berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang mengunggah video berkaitan dengan kekerasan dan kinerja buruk Kepolisian.

Somasi yang dilayangkan pejabat publik semakin menegaskan bahwa pemangku kebijakan saat ini anti kritik.Pelibatan TNI dan BIN dalam Penanganan Pandemi Covid-19 yang memperlihatkan bentuk campur tangan terlalu jauh militer terhadap urusan sipil.

Terkait penghapusan mural yang semakin memperlihatkan watak anti kritik pemerintah. Penangkapan pembentang poster yang semakin mempertegas watak represif Kepolisian khususnya terhadap pengkritik pemerintah.

Rozi menegaskan, pola-pola semacam tentu tidak dapat diteruskan. Sebab akan memperparah kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia tahun 2022.

“Masyarakat akan semakin takut menyampaikan kritik karena dibungkam dengan berbagai metode,” imbuh dia.

suara.com

Comments

comments

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Exit mobile version