Cukai Rokok 2026 Tak Naik, Pemerintah Dianggap Main Aman di Tengah Tarik-Menarik Industri dan Kesehatan

Potret Purbaya Yudhi Sadewa selama menjabat di LPS. (Foto: LPS)

JAKARTA, inibalikpapan.com – Pemerintah akhirnya memastikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2026 tidak mengalami kenaikan. Keputusan ini datang langsung Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan menandai arah kebijakan fiskal yang dinilai berhati-hati, sekaligus memicu perdebatan soal keberpihakan negara antara industri dan kesehatan publik.

“Tahun 2026 tarif cukainya tidak kami naikkan,” ujar Purbaya, menutup spekulasi soal arah kebijakan cukai rokok tahun depan.

Sebelum keputusan itu ia ambil, Purbaya mengaku telah berdiskusi dengan pelaku industri rokok. Dalam pertemuan tersebut, ia bahkan melontarkan pertanyaan langsung kepada mereka.

“Apa perlu saya mengubah tarif cukainya (untuk) tahun 2026?” tanya Purbaya.

Jawaban yang diterima terbilang lugas. “Asal nggak diubah sudah cukup,” jawab para pelaku industri.

“Ya sudah, saya nggak usah ubah,” balas Purbaya, melansir Suara, jaringan inibalikpapan.com.

Pernyataan itu disampaikan di hadapan awak media di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (26/9/2025).

Kebijakan ini melanjutkan tren fluktuatif kenaikan cukai rokok dalam lebih dari satu dekade terakhir. Berdasarkan data, rata-rata kenaikan cukai rokok berada di kisaran 10–12,5 persen per tahun sepanjang 2012–2024, dengan lonjakan tertinggi pada 2020 yang mencapai sekitar 23 persen. Namun, pada 2025 cukai rokok juga tidak mengalami kenaikan.

Keputusan kembali menahan kenaikan pada 2026 pun memunculkan pertanyaan publik: apakah ini bentuk kehati-hatian fiskal, atau sinyal melemahnya komitmen negara pada pengendalian konsumsi rokok?

Selama ini, cukai rokok tidak hanya diposisikan sebagai sumber penerimaan negara, tetapi juga instrumen pengendalian konsumsi untuk melindungi kesehatan masyarakat. Sejumlah kajian pemerintah menyebutkan cukai berperan menekan laju perokok dan mencegah dampak kesehatan jangka panjang.

Kritik Keras

Namun, keputusan tidak menaikkan cukai menuai kritik keras dari Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT). Sekretaris Komnas PT, Tulus Abadi, menilai kebijakan tersebut mengabaikan filosofi cukai sebagai alat pengendalian konsumsi.

“Pertama, konsumsi rokok akan melonjak, khususnya pada anak-anak dan remaja. Kedua, negara akan kehilangan potensi pendapatan yang signifikan. Padahal, saat ini negara sedang menghadapi keterbatasan penerimaan pajak dan tingginya pengeluaran akibat bencana. Seharusnya, cukai rokok justru dinaikkan,” kata Tulus, Selasa (23/12/2025).

Ia menilai dampak terberat dari kebijakan ini justru ada pada sektor kesehatan.

“Bahkan pemerintah tunduk pada kepentingan oligarki tembakau,” ujarnya.

Menurut Tulus, tidak dinaikkannya cukai berpotensi meningkatkan prevalensi perokok anak dan remaja yang saat ini sudah mencapai 7,4 persen, serta memperbesar konsumsi rokok di kalangan rumah tangga miskin.

“Puncaknya, akan terjadi peningkatan prevalensi penyakit tidak menular dan membengkaknya biaya kesehatan,” katanya.

Ia juga menyoroti aspek regulasi.

“Khususnya Undang-Undang Cukai, karena seharusnya CHT dinaikkan setiap tahun. Sementara pada 2025 tidak naik, dan 2026 juga tidak dinaikkan,” ujarnya.

Tulus bahkan khawatir keputusan ini membuka preseden politik ke depan.

“Bisa saja pada 2027 nanti cukai kembali tidak dinaikkan karena mendekati tahun politik. Bahkan bukan tidak mungkin sampai 2030 CHT stagnan karena pertimbangan politik,” kata Tulus.

Pertimbangan Ekonomi

Di sisi lain, pemerintah dinilai memiliki pertimbangan ekonomi tersendiri. Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, melihat kebijakan ini sebagai langkah kehati-hatian di tengah kondisi pemulihan ekonomi yang belum sepenuhnya solid.

“Kebijakan fiskal saat ini tampaknya diarahkan untuk mendorong sisi permintaan, penciptaan lapangan kerja, serta menghindari tekanan berlebihan terhadap industri,” kata Faisal.

Menurutnya, kenaikan cukai rokok berpotensi menekan industri dan berdampak pada tenaga kerja, terutama dalam situasi ekonomi yang masih rapuh.

“Makanya kebijakan fiskal, baik cukai maupun pajak, harus dijalankan dengan lebih berhati-hati dalam kondisi seperti sekarang,” ujarnya.

Meski begitu, Faisal menegaskan kebijakan ini bukan keputusan permanen.

“Tentu saja, ketika kondisi ekonomi masyarakat sudah membaik, kebijakan ini harus bisa dievaluasi kembali,” pungkasnya.

Keputusan menahan kenaikan cukai rokok pada 2026 akhirnya menempatkan negara pada persimpangan klasik: menjaga stabilitas ekonomi jangka pendek, atau mempertegas keberpihakan pada kesehatan publik dalam jangka panjang.***

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses