Dari ‘Buah Terbuang’ Jadi Cuan: Kisah Makiyah Kembangkan Abon Cempedak di Balikpapan

Cempedak dulu banyak tumbuh di sekitar rumah Makiyah, tapi sering berakhir busuk. Pohonnya satu per satu ditebang karena dianggap tak berguna. Baunya tajam dan susah dijual. Tapi perempuan Balikpapan Tengah itu kemudian melihat yang orang lain lewatkan—kesempatan untuk mengembangkan usaha dengan mengolah buah itu jadi makanan yang bernilai. (Foto: Samsul/Inibalikpapan.com)

BALIKPAPAN, inibalikpapan.com – Cempedak dulu banyak tumbuh di sekitar rumah Makiyah, tapi sering berakhir busuk. Pohonnya satu per satu ditebang karena dianggap tak berguna. Baunya tajam dan susah dijual. Tapi perempuan Balikpapan Tengah itu kemudian melihat yang orang lain lewatkan—kesempatan untuk mengembangkan usaha dengan mengolah buah itu jadi makanan yang bernilai.

Usaha itu dinamakan Bumbu Mamaku, sebuah produk abon berbahan dasar cempedak matang yang diproses selama berjam-jam hingga menghasilkan tekstur kering dan gurih seperti abon daging.

Cerita awalnya, ia menyaksikan sendiri bagaimana buah ini ditinggalkan. Bahkan ibunya lebih memilih membeli cempedak di pasar daripada memetik dari kebun sendiri.

“Setiap buah cempedak ini musim, itu jadi busuk. Dan orang-orangnya enggak mau cium baunya lagi,” kenang Makiyah. Ironisnya, saat tidak musim, justru cempedak dicari-cari.

Keprihatinan itu mendorong keluarganya mencari solusi agar pohon cempedak tetap bisa mereka manfaatkan. Gagasan datang dari sang ayah.

“Bapak saya yang bilang, ‘Ini teksturnya kayak daging, pasti bisa kok dijadikan abon. Bapak dulu buat abon ayam, coba kita coba’,” tutur Makiyah.

Awalnya ia ragu, tapi tetap mencoba. Dengan resep dan bimbingan ayahnya, buah cempedak berhasil diolah menjadi abon. Produk ini mulai mereka pasarkan ke lingkungan sekitar dan pasar tradisional.
“Awalnya kami jualnya rugi, karena kami enggak tahu tujuannya apa. Intinya kami produksi tapi kami bingung jual ke mana,” ungkap Makiyah jujur.

Produk abon cempedak itu kemudian mereka beri nama Bumbu Mamaku. Proses pembuatannya tidak sederhana. Penggorengan bisa memakan waktu minimal empat jam untuk mendapatkan tekstur yang pas. “Apabila teksturnya masih belum sesuai seperti yang kita inginkan, itu kita goreng lagi,” jelasnya.

Titik Balik Bernama Berdaya Bareng

Titik balik datang saat Makiyah bertemu dengan komunitas Berdaya Bareng. Di sana, ia mengikuti pelatihan dan mulai memahami dasar-dasar pemasaran, branding, dan pengembangan produk.

“Alhamdulillah yang pertama kali saya ingat sampai sekarang itu adalah ‘bisnis modal kantor’. Itu yang jadi titik balik kita,” tegasnya.

Dalam sesi pelatihan itu, ia mulai belajar cara melihat pasar dan memahami konsumen.
“Saya tanya waktu pelatihan, ‘Jadi konsumen saya malah tanya ke pelatihan itu, selamat siang, siapa ya? Kamu maunya apa? Kamu branding produkmu apa?’” ujar Makiyah.

Mentornya, Cak Polis, juga memberikan banyak masukan praktis, terutama soal kemasan.
“Beliau yang ngasih tahu, ‘Nanti kemasannya dibaikin ya, Mbak, kemasannya begini, pesannya di sini, supaya harga Mbak naik’,” kenangnya.

Dulu, abon dijual Rp 10.000, bahkan kadang hanya Rp 8.000 tanpa memperhitungkan untung-rugi. Sekarang Makiyah percaya diri mematok harga Rp 20.000 per bungkus. Ia juga mulai menjual produknya secara daring.

“Alhamdulillah sekarang saya sudah punya Shopee, Bu, e-commerce-nya. Walaupun masih 46 pieces yang terjual, tapi sudah sampai Banyuwangi, sampai Surabaya, orang-orang luar sudah tahu,” ujarnya bangga.

Memberdayakan Ibu-Ibu di Sekitar Rumah

Usaha Bumbu Mamaku kini tak hanya soal produk, tapi juga soal pemberdayaan. Makiyah melibatkan ibu-ibu di sekitar rumah untuk ikut memproduksi abon, terutama untuk proses menggoreng dan mengupas kulit cempedak.

“Ada kulit cempedak yang saya sediakan di luar, itu biasanya dibawa pulang Rp 1.000-Rp 1.000, jadi per kilonya sekitar Rp 4.000, jadi kayak freelance gitu,” terangnya.

Bahkan dalam pengelolaan limbah, ia menerapkan prinsip keberlanjutan. Sisa buah diolah menjadi kompos, sehingga tidak ada bagian yang terbuang.

Kini, Bumbu Mamaku bukan hanya produk oleh-oleh, tapi simbol rasa lokal. Dari buah yang dulu dianggap tak berguna, abon cempedak kini menjadi bukti bahwa yang terbuang bisa berharga.

“Kami ingin cempedak tetap lestari. Biar pohonnya enggak ditebang. Lewat Bumbu Mamaku, kami ingin orang bangga membawa pulang rasa kampungnya sendiri.”***

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses