Dari Sungai Ampal Berbelok hingga Banjir Besar, Kenangan Tentang Balikpapan Permai
Oleh : Ramadani
PERUBAHAN besar telah mewarnai kawasan muara sungai ampal dan pesisir Balikpapan Permai sejak puluhan tahun silam. Boedi Liliono Kepala Satpol PP Balikpapan yang menetap di wilayah kawasan Balikpapan Permai tersebut sejak era 1960-an, menjadi saksi bagaimana wajah alam dan permukiman setempat berubah dari masa ke masa.
Menurutnya, dahulu kawasan muara terbentang lebih luas, dengan hutan bakau hanya tumbuh di bagian paling ujung. “Dulu, aliran sungai lebarnya cuma sekitar 10 meter, tidak terlalu lebar. Saat surut, airnya berbelok dan membentuk seperti danau kecil sebelum mengalir keluar,” kenangnya.
Ia masih ingat, sebelum 1979 aliran sungai tidak lurus seperti sekarang. “Tahun 1979 baru lurus. Dulu malah berbelok ke arah belakang pasar Balikpapan Permai lewat dekat pabrik botol, baru keluar ke muara,” ujarnya.
Kala itu, pepohonan rimbun masih mendominasi. “Semua hutan, banyak pohon karet, manggis, dan kayu. Sekarang sebagian sudah jadi permukiman. Dulu RSS di kawasan penegak belum ada, hanya jalan setapak,” katanya.

Pada dekade 1970–1980-an, rumah panggung menjadi pemandangan umum di sekitar muara. “Rumah murah pun dibangun bertiang, makanya disebut anak kolong,” tutur Boedi sambil tersenyum.
Mata pencaharian utama masyarakat pun tidak jauh dari laut. “Kalau dulu, lumayan banyak nelayan, walau di seberang hanya satu kampung,” ujarnya.
Banjir pasang laut menjadi fenomena tahunan yang akrab diingatnya. “Kalau air laut pasang besar, airnya meluber sampai ke pemukiman, bahkan sampai ke halaman rumah,” jelasnya.
Kini, wajah kawasan muara sungai ampal itu telah berubah. Sebagian wilayah direklamasi untuk pembanguna kawasan Balikpapan Super Blok, sebagian menjadi permukiman, dan sebagian lainnya masuk rencana pengembangan seperti BSB. Meski begitu, kenangan masa lalu tetap tertinggal di benak sang saksi sejarah.
“Dulu semua alami, sekarang sudah banyak berubah. Tapi kita harus tetap ingat bagaimana daerah ini dulu, supaya tidak lupa sejarahnya,” aku Boedi.
Bukan hanya untuk mencari ikan, tepi Sungai Ampal juga pernah menjadi lokasi hiburan warga. Di era 1970-an, sebuah kebun binatang berdiri di kawasan Damai, tak jauh dari aliran sungai. Anak-anak datang bersama keluarga, menikmati udara segar
Namun, kebun binatang itu akhirnya dipindahkan. Banjir yang kerap melanda, ditambah perubahan tata ruang, membuat kawasan tersebut tak lagi ramah untuk fasilitas publik.
“Dulu di Damai itu sempat ada kebun binatangnya, tapi karena banjir di 1979 jadi ditutup,” akunya.
Memasuki 1980-an, wajah Sungai Ampal mulai berubah. Pertumbuhan kota yang pesat memicu pembangunan rumah dan toko di sepanjang bantaran. Bakau ditebang, lahan diuruk, dan jalur air dipersempit. Pada musim hujan, luapan air kian sering terjadi, sementara di musim kemarau, alirannya menyusut drastis.
Direktur Eksekutif Sentra Program Pemberdayaan dan Kemitraan Lingkungan (STABIL) Jufriansyah menyebutkan, penyebabnya bukan hanya karena hilangnya vegetasi bakau, tetapi juga sedimentasi dari perbukitan di hulu.
“Material pasir dan tanah dari bukit ikut terbawa hujan ke sungai, membuat dasar sungai dangkal. Ditambah limbah rumah tangga yang dibuang sembarangan, kapasitas air makin berkurang,” jelas Jufriansyah saat dihubungin media, Sabtu (16/8/2025).
Pusat-pusat perdagangan modern mulai mengambil alih ruang yang dulu menjadi kawasan tangkapan air. Mal, hotel, dan ruko menjulang, mengapit jalur sungai yang kini nyaris tak terlihat dari jalan raya. Aktivitas nelayan di Sungai Ampal pun kian jarang ditemui.
Di satu sisi, pembangunan membawa kemudahan bagi warga kota. Namun, di sisi lain, fungsi ekologis Ampal sebagai pengendali banjir alami tergerus. Data Pemkot Balikpapan mencatat, panjang Sungai Ampal kini sekitar 4,69 kilometer dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 2.527 hektare sebagian besar sudah masuk kawasan padat bangunan.
Seiring meningkatnya banjir di kawasan MT Haryono dan sekitarnya, Pemerintah Kota Balikpapan meluncurkan program besar: pembangunan bendali (bendungan pengendali) di hulu Sungai Ampal. Bendali ini diharapkan mampu menampung debit air saat hujan lebat, mengurangi potensi banjir, sekaligus mengembalikan sebagian fungsi ekosistemnya.
Proses normalisasi pun dilakukan, termasuk pengerukan sedimen dan pelebaran drainase. Hingga pertengahan 2025, pembebasan lahan untuk bendali sudah mencapai 94 persen.
Bagi sebagian warga, Sungai Ampal bukan sekadar aliran air. Ia adalah kenangan masa kecil, sumber penghidupan, dan ruang sosial yang kini tinggal cerita. “Kalau lewat di jembatan dekat Damai, saya masih bisa membayangkan suasana dulu. Perahu hilir-mudik, suara anak-anak mandi sambil tertawa, dan bau laut yang menyapa,” ujar Jufri.
Kini, Sungai Ampal berdiri sebagai saksi bisu perjalanan Balikpapan: dari kota pesisir yang sederhana, menuju metropolis yang sibuk. Di balik beton dan lampu kota, riwayatnya tetap mengalir mengajak siapa saja yang mau mendengar, untuk tidak melupakan asal-usul dan pentingnya menjaga air kehidupan.***
BACA JUGA
