Digitalisasi Transaksi Jadi Tantangan Baru Pemungutan Pajak Restoran di Balikpapan
BALIKPAPAN,Inibalikpapan.com — Di balik tingginya capaian pajak restoran tahun ini, Pemerintah Kota Balikpapan menghadapi tantangan baru dalam mengoptimalkan pendapatan dari sektor kuliner. Perubahan perilaku masyarakat yang kini banyak beralih ke layanan pemesanan makanan daring membuat proses pengawasan dan pemungutan pajak menjadi semakin kompleks.
Kepala Badan Pengelola Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (BPPDRD) Balikpapan, Idham, mengatakan bahwa meski penerimaan pajak restoran menunjukkan tren positif, potensi terbesar justru datang dari transaksi digital yang hingga kini belum bisa dipungut pajaknya oleh pemerintah daerah.
“Perkembangan teknologi membuat perilaku ekonomi berubah. Banyak masyarakat sekarang lebih sering pesan makanan lewat aplikasi. Namun, transaksi ini belum memiliki dasar hukum untuk dipungut pajak daerah,” jelasnya, Rabu (26/11/2025).
Tahun ini, pajak restoran ditargetkan mencapai Rp160 miliar, dan hingga pertengahan November realisasinya telah menembus 92 persen atau sekitar Rp146 miliar. Capaian ini terutama berasal dari restoran konvensional dengan sistem self-assessment, di mana pelaku usaha menghitung 10 persen dari omzet mereka secara mandiri untuk disetorkan sebagai pajak.
Namun Idham menegaskan bahwa jumlah ini sebetulnya bisa lebih besar bila transaksi daring memiliki regulasi yang jelas. “Kami sulit menghitung omzet yang terjadi di platform online. Data transaksinya ada di aplikasi, bukan pada kami atau pelaku usaha. Jadi celah ini membuat potensi pajak yang sebenarnya besar belum bisa dioptimalkan,” terangnya.
Ia menambahkan, pemerintah daerah tidak boleh menerapkan jenis pungutan baru di luar ketentuan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Selama belum ada regulasi yang mengatur pemungutan pajak digital oleh pemerintah daerah, pihaknya tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan penarikan. “Kami menunggu aturan dari pemerintah pusat. Kewenangannya ada di mereka, bukan di daerah,” tegas Idham.
Sementara itu, pola konsumsi masyarakat Balikpapan yang semakin bergeser ke layanan online justru meningkat signifikan dalam dua tahun terakhir. Bahkan beberapa restoran melaporkan bahwa 40–60 persen pendapatan mereka berasal dari aplikasi pemesanan makanan. Kondisi ini memunculkan kesenjangan antara potensi ekonomi dan kemampuan pemerintah daerah dalam memungut pajak.
“Jika regulasi digital sudah jadi payung hukum, penerimaan pajak restoran bisa jauh lebih optimal. Dari sisi daerah, kami siap menyesuaikan sistem,” ujar Idham.
Meski menghadapi tantangan itu, BPPDRD tetap mengapresiasi kepatuhan wajib pajak di Balikpapan. Ia memastikan setiap rupiah yang dibayarkan masyarakat akan kembali dalam bentuk pembangunan dan program layanan publik, mulai dari sektor pendidikan, fasilitas kesehatan, hingga berbagai program subsidi yang pro masyarakat.
Dengan semakin berkembangnya ekonomi digital, Idham berharap regulasi terkait pajak transaksi daring segera diterbitkan agar pemerintah daerah dapat mengikuti dinamika ekonomi modern tanpa mengabaikan potensi pendapatan yang besar.***
BACA JUGA
