BALIKPAPAN,Inibalikpapan.com – Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kalimantan Timur melaksanakan Bimbingan Teknis yang mengangakat tema Efektivitas Pendaftaran Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi yang diselenggarakan di Swiss Bel Hotel, Kota Balikpapan, Kamis (8/9/2022).

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kalimantan Timur, Sofyan S.Sos.SH,MH memberikan apresiasi atas kehadiran Direktur Perdata Ditjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM RI Santun Siregar ditengah kesibukannya yang padat dapat menyempatkan diri hadir serta memilih Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur sebagai tempat dilaksanakannya bimbingan teknis Jaminan Fidusia dengan Masyarakat dan/atau Pelaku Usaha.

“Selamat datang bapak Direktur Perdata Ditjen AHU beserta jajarannya di Bumi Etam Kalimantan Timur,” ucap Sofyan dalam sambutannya.

Perlu kami laporkan bahwa jumlah perusahaan pembiayaan di Kalimantan Timur ada 72 perusahaan dan di Kalimantan Utara ada 14 perusahaan. Adapun beberapa kasus yang ada telah disinergikan dengan APH (Kepolisian).

“Dalam rangka peningkatan pemahaman menyangkut tentang fidusia, telah dilakukan Langkah-langkah berupa Diseminasi/Sosialiasi baik secara langsung maupun virtual melalui Youtube, wawancara dengan TVRI dan RRI, serta Podcast,” kata Sofyan.

Sofyan menambahkan, bimbingan teknis ini menjadi sangat penting artinya bagi warga di Provinsi Kalimantan Timur dalam meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai prosedur pelaksanaan Jaminan Fidusia dari awal pendaftaran sampai dengan proses eksekusi yang mana pelaksanaan jaminan fidusia ini harus menjamin kepastian hukum para pihak yakni debitur dan kreditur. 

“Dengan adanya kegiatan bimbingan teknis ini dapat menyamakan pemahaman dan persepsi dari masyarakat, stakeholder terkait dan para aparat penegak hukum demi terwujudnya kepastian hukum di bidang jaminan fidusia,” akunya.

Apalagi dengan telah diundangkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pendaftaran, Perubahan dan Penghapusan Jaminan Fidusia, diperlukannya bimbingan teknis kepada masyarakat dan/atau pelaku usaha dalam rangka meningkatkan pemanfaatan layanan pencarian dan/atau unduh data Jaminan Fidusia guna keperluan transaksi pembiayaan, dan meminimalisir terjadinya penjaminan ulang atau pembebanan hak terhadap objek jaminan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga terpenuhinya asas keterbukaan informasi publik (publisitas).

“Serta sekaligus dengan pemberian layanan konsultasi di bidang keperdataan yang ada pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum,” imbuhnya.

Sementara itu, Direktur perdata direktorat Administrasi Hukum Umum (AHU), Santun Maspari Siregar mengatakan, seperti diketahui pada 6 Januari 2020 Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan atas perkara nomor 18/PUU-XVII/2019 mengenai judicial review Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Putusan MK 18/2019).

“Permohonan judicial review dilatarbelakangi oleh sikap dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tenaga alih daya (jasa penagih/debt collector) pada saat proses penarikan objek jaminan fidusia dalam rangka eksekusi jaminan fidusia,” kata Santun.

Terhadap Putusan MK 18/2019 terdapat perbedaan pemaknaan oleh masyarakat akibat tidak adanya kejelasan atas mekanisme penentuan kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan mekanisme proses eksekusi jika amar Putusan MK 18/2019 tidak dipenuhi.

“Dalam hal perbedaan pemaknaan Putusan MK 18/2019 memengaruhi atau menyulitkan proses eksekusi objek jaminan fidusia, maka akan berdampak terhadap perekonomian secara global.,” imbuhnya.

Untuk itu, diperlukannya pemberian bimbingan teknis kepada masyarakat dan/atau pelaku usaha mengenai hal sebagai berikut:

  1. Putusan MK 18/2019 tidak serta merta menghilangkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan eksekusi jaminan fidusia yang bertujuan memberikan perlindungan hukum kepada para pihak sepanjang sejalan dengan amar Putusan MK 18/2019 dimaksud.
  2. Eksekusi jaminan fidusia oleh Penerima Fidusia (kreditur) dapat dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia jika memenuhi 2 (dua) persyaratan secara kumulatif, yakni pertama adanya kesepakatan tentang telah terjadinya cidera janji (wanprestasi) dan kedua yaitu Pemberi Fidusia (debitur) dengan sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia dalam rangka eksekusi.
  3. Terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang telah terjadinya cidera janji (wanprestasi) dan/atau pemberi fidusia (debitur) keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yakni dengan mengajukan permohonan penetapan eksekusi ke pengadilan (Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg).
  4. Selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 2/PUU-XIX/2021, Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya menyatakan bahwa eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri sesungguhnya hanyalah sebagai sebuah alternatif. Hal tersebut menekankan kembali bahwasanya dengan adanya Putusan MK 18/2019 tidak menghilangkan hak eksekutorial pada Undang-Undang Jaminan Fidusia, dan permohonan penetapan eksekusi di pengadilan merupakan jalan alternatif dalam hal persyaratan eksekusi secara langsung tidak terpenuhi. 

Belum lama ini telah dilakukan kembali judicial review atas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yakni terhadap Pasal 30, berdasarkan Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIX/2021. 

Dalam putusan perkara tersebut pada tanggal 24 Februari 2022 dinyatakan antara lain bahwa:

“frasa “pihak yang berwenang” dalam penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia… bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengadilan negeri”.

Berdasarkan putusan tersebut, pada intinya menegaskan kembali bahwasannya dalam hal tidak terpenuhinya persyaratan eksekusi secara langsung sebagaimana ditetapkan dalam Putusan MK 18/2019, maka yang berwenang untuk melakukan penarikan secara paksa atas objek jaminan fidusia dalam rangka eksekusi hanyalah Pengadilan Negeri.

“Untuk itu Penerima Fidusia/Kreditur dapat memintakan permohonan eksekusi jaminan fidusia ke Pengadilan Negeri,” katanya.

Dalam pertimbangan putusan, majelis hakim menyampaikan bahwa kewenangan aparat kepolisian hanya terbatas mengamankan jalannya eksekusi bila diperlukan, bukan sebagai bagian dari pihak eksekutor, kecuali ada tindakan yang mengandung unsur-unsur pidana maka aparat kepolisian baru mempunyai kewenangan untuk penegakan hukum pidananya.

Sehubungan dengan telah diundangkannya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 25 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pendaftaran, Perubahan, dan Penghapusan Jaminan Fidusia pada tanggal 19 Juli 2021 yang mencabut Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik, diperlukannya bimbingan teknis kepada masyarakat dan/atau pelaku usaha dalam rangka mensosialisasikan perubahan serta perkembangan pada pemberian layanan jaminan fidusia.

Dengan dihadirinya kegiatan ini oleh notaris, kejaksaan negeri, pengadilan negeri, kepolisian, lembaga pembiayaan, akademisi, tokoh masyarakat, serta Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kalimantan Timur yang merupakan garda terdepan dalam memberikan pemahaman lebih lanjut kepada masyarakat.

“Kami berharap dapat meningkatkan efektifitas pemberian pemahaman kepada masyarakat mengenai tata cara eksekusi jaminan fidusia pasca Putusan MK, serta Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 25 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pendaftaran, Perubahan, dan Penghapusan Jaminan Fidusia,” pungkasnya.

Comments

comments

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Exit mobile version