Gelar Capacity Building 2025, BI Balikpapan Ajak Pekerja Media Kunjungi Batik Walang Kekek

SOLO, inibalikpapan.com – Sejumlah wartawan Balikpapan bersama Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Kota Balikpapan mendapat kesempatan langka mengunjungi rumah sekaligus galeri Batik Walang Kekek, milik maestro keroncong Waldjinah, di Jalan Parang Cantel No. 31, Mangkuyudan, Solo, Senin (8/9/2025).

Kunjungan yang menjadi bagian dari kegiatan Capacity Building Wartawan 2025 ini memberikan wawasan baru bagi para jurnalis tentang filosofi dan kekayaan budaya di balik batik.

Batik Walang Kekek berdiri pada 2016, bertepatan dengan momen 60 tahun perjalanan karier Waldjinah yang mendapat penghargaan dari pemerintah. Dari perjalanan panjang itu lahirlah ide untuk mengabadikan karya dan kenangan melalui batik. Kini, usaha ini dikelola oleh menantunya, Menil Ester Wulandari (60), bersama tim kreatif.

Batik Bukan Sekadar Kain

Menurut Ester, banyak generasi muda yang belum memahami batik secara utuh. Ia menegaskan, batik bukan hanya kain bergambar yang diberi lilin, tetapi juga identitas bangsa.
“Batik itu penanda identitas bangsa. Ada senimannya, ada bahan bakunya, ada sekolahnya, ada pemakainya, hingga museumnya. Semua harus dijaga agar batik tetap hidup,” ujarnya.

Batik Walang Kekek mengusung tagline “Kami Kuno Kini Nanti”. Filosofi ini mencerminkan perjalanan batik dari motif klasik, hadir dalam karya yang relevan di masa kini, dan tetap lestari di masa mendatang.

Para wartawan dibuat terkesan dengan penjelasan Ester yang detail dan penuh filosofi. Ia bahkan memperlihatkan koleksi batik beserta cetak biru pola yang digambar di atas kertas singkong, termasuk motif futuristik yang sudah divisualisasikan jauh sebelum era film modern seperti Marvel atau Flash Gordon.

Beberapa karya bahkan sempat ditawar kolektor asing, namun Waldjinah menolak untuk menjualnya.
“Tidak. Ini kekayaan budaya Indonesia. Semua ini kami simpan demi menghormati leluhur,” tegas Ester.

Warisan yang Menyimpan Cerita

Batik Walang Kekek memiliki hampir 1.000 pola batik langka, termasuk karya kakak Waldjinah yang sejak 1964 aktif sebagai seniman batik. Bahkan, beberapa lagu Waldjinah dituangkan ke dalam motif batik, menghadirkan karya seni lintas medium yang unik.

Ester menekankan pentingnya narasi dalam pemasaran batik.
“Kalau narasi ini dikembangkan, masyarakat tidak hanya membeli kain, tapi juga memahami filosofi dan identitas di baliknya,” jelasnya.

Jembatan Budaya Jawa dan Kalimantan

Dalam sesi diskusi, Ester juga mendorong kolaborasi budaya antara Jawa dan Kalimantan. Ia menilai, motif khas Jawa seperti parang dan kawung dapat dipadukan dengan simbol-simbol Kalimantan seperti laut, hutan, atau ornamen Dayak.

“Ini bisa menjadi simbol persatuan. Batik Dayak atau batik Kalimantan bisa berkembang sejajar dengan batik Jawa, apalagi bila dikemas secara digital dan kreatif,” ujarnya.

Ester berharap generasi muda semakin mencintai batik, terlebih di era digital yang menyediakan ruang luas untuk pameran, fashion show, hingga kampanye kreatif di media sosial.

“Membangun jembatan budaya Jawa–Kalimantan lewat batik adalah langkah strategis. Identitas lokal tetap terjaga, tapi juga memberi ruang inovasi yang luar biasa,” pungkasnya.***

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses