Intimidasi Penulis Opini, Ancaman terhadap Kebebasan Pers Kembali Terulang

Jurnalis / Ilustrasi / faktualnew
Jurnalis / Ilustrasi / faktualnew

JAKARTA, Inibalikpapan.com — Media daring Detik.com pada Kamis pagi menghapus artikel opini berjudul “Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?” setelah penulisnya yang berinisial YF mengaku mengalami intimidasi serius pasca-publikasi tulisan tersebut.

Artikel yang sempat tayang di rubrik kolom ini menyentil isu sensitif: penempatan jenderal aktif di posisi sipil yang dinilai mencederai sistem meritokrasi dalam birokrasi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Penghapusan artikel tersebut bukan tanpa alasan. YF menyatakan bahwa dirinya merasa keselamatannya terancam dan meminta agar Detik.com menarik tulisannya dari publik sebagai bentuk perlindungan.

YF juga melaporkan kasus intimidasi yang ia alami ke Dewan Pers, berharap adanya perlindungan nyata bagi mereka yang menyuarakan opini kritis di ruang publik.

Detik.com kemudian mengonfirmasi bahwa penghapusan dilakukan atas permintaan penulis demi menjaga keselamatannya.

Kebebasan Pers di Bawah Ancaman

Kasus ini mempertegas bahwa kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di Indonesia masih menghadapi tekanan nyata. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia secara tegas mengecam tindakan intimidasi terhadap YF.

Ketua AJI, Nany Afrida, menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk pembungkaman yang melanggar konstitusi dan Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999.

“Teror terhadap penulis opini bukan hanya serangan terhadap individu, tapi juga serangan terhadap hak publik untuk mendapatkan informasi, serta ancaman langsung terhadap demokrasi,” ujar Nany, dalam siaran persnya.

Menurut AJI, pola intimidasi terhadap suara-suara kritis menunjukkan adanya upaya sistematis menciptakan chilling effect, yaitu rasa takut dalam menyampaikan pendapat yang sah dan konstitusional.

BACA JUGA :

Rentetan Pembungkaman

Kasus YF menambah daftar panjang pembungkaman ekspresi kritis di era pemerintahan Presiden Prabowo. Sebelumnya, publik mencatat:

  • Lagu “Bayar, Bayar, Bayar” milik band Sukatani ditarik dari peredaran;
  • Seorang siswa di Bogor dipaksa meminta maaf setelah mengkritik kegiatan MBG;
  • Mahasiswa ITB ditangkap karena membuat meme yang menyindir Presiden Jokowi dan Presiden terpilih Prabowo.

Seluruh peristiwa ini mencerminkan tren yang mengkhawatirkan: semakin menyempitnya ruang demokrasi dan meningkatnya penggunaan UU ITE sebagai alat pembungkam.

AJI Desak Langkah Nyata dari Pemerintah dan Penegak Hukum

Ketua Bidang Advokasi AJI, Erick Tanjung, menilai intimidasi terhadap YF sebagai cerminan praktik represi ala Orde Baru yang kembali hidup. Ia menuntut negara tidak tinggal diam.

“Aparat harus mengusut tuntas teror terhadap YF. Negara harus hadir melindungi warganya yang menyuarakan kebenaran,” tegas Erick.

AJI pun menyerukan lima langkah penting untuk menghentikan siklus kekerasan terhadap kebebasan berekspresi:

  1. Detik.com diminta memberikan perlindungan terbuka terhadap YF, melaporkan intimidasi ini ke aparat, serta memberi dukungan hukum.
  2. Dewan Pers diminta menegaskan ulang tanggung jawab media dalam melindungi penulis dan narasumber kritis.
  3. Komnas HAM didesak turun tangan melakukan investigasi dan menjamin perlindungan terhadap YF.
  4. Kapolri diminta memproses hukum pelaku intimidasi, bukan malah membiarkannya.
  5. Presiden Prabowo diminta membuktikan komitmen pada demokrasi dengan menghentikan praktik militerisasi jabatan sipil.

Demokrasi Membutuhkan Kritik, Bukan Represi

AJI menyerukan solidaritas dari seluruh media, organisasi jurnalis, masyarakat sipil, dan publik luas untuk melawan teror terhadap kebebasan pers.

“Ketika satu suara dibungkam, maka yang terancam bukan hanya orang itu, tetapi kita semua,” ujar Nany.

Kebebasan pers bukan sekadar hak jurnalis atau penulis opini, tetapi fondasi utama demokrasi yang sehat. Jika kritik dibungkam, demokrasi hanya tinggal nama. ***

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses