PANCASILA merupakan sebuah manifestasi dari pikiran runcing para pendahulu. Pemikiran-pemikiran yang telah terakumulasi di setiap kepala para pemikir terdahulu, di tarungkan dalam sidang BPUPKI pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945.

Dalam forum inilah para pendahulu berdialektika, merumuskan dan mengusahakan suatu Philosofische Grondslag (landasan filosofis) yang akan menjadi dasar untuk Indonesia merdeka. 

Pancasila sebagai suatu Philosofische Grondslag dalam kehidupan berbangsa dan  bernegara, harus lah tertanam dengan baik di dalam hati dan pikiran rakyat Indonesia. Sayangnya, pemahaman dan kesadaran sebagian besar  warga negara mengenai nilai-nilai Pancasila sangatlah kurang.

Hal ini di sebabkan karerna cacatnya metode pengajaran tentang Pancasila di dunia pendidikan. Di tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, pengajaran tentang pendidikan Pencasila di lakukan dengan metode hapalan saja. Para murid hanya di wajibkan untuk menghapal kelima sila saja. Sudah, cukup sampai di situ saja.

Dunia Pendidikan tidak menyodorkan kesempatan kepada murid untuk mengupas lebih dalam sisi filosofis, sejarah, dan tujuan di bentuknya. Dampaknya Pancasila hanya sekedar menjadi hafalan bagi murid dan juga sebagai pajangan di dinding bangunan pendidikan.

Padahal sebagai sebuah dasar negara, pendidikan tentang Pancasila haruslah di lakukan secara komprehensif. Sehingga dalam memaknai Pancasila tidaklah hanya sekedar dengan uraian etimologi atau tafsiran sempit KBBI saja.

Seringkali kita temui interpretasi Pancasila yang mereduksi makna dan membuatnya menjadi bias. Sehingga dalam implementasinya menjadi jauh dari esensi dan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. 

Sebagai contoh, banyak orang yang beranggapan bahwa sila KeTuhanan dalam Pancasila seolah-olah memiliki kedudukan paling tinggi di antara semua sila. Sehingga tidak heran jika menemukan warga negara yang mengagung-agungkan nama Tuhan sambil menyayat kemanusiaan dan memecah belah persatuan.

Ironisnya, dengan dada yang membusung bangga mereka mengganggap diri mereka Pancasilais.

Padahal kelima sila tersebut tidaklah menjadi sebuah tatanan hirarki yang menempatkan sila pertama menjadi perintah paling utama. Tetapi, masing-masing sila memiliki posisi yang setara dan saling berkaitan antara sila yang satu dengan sila yang lainnya. Sehingga menjadi sebuah kesalahan saat mencoba menggapai salah satu sila dengan menginjak sila yang lainnya.

Hal ini tidak lain, merupakan dampak dari pengajaran pendidikan Pancasila yang gagal dan interpretasi konyol kebanyakan orang yang sebenarnya tidak memahami Pancasila secara komprehensif.

Sehingga Pancasila yang seharusnya menjadi dasar berdiri kokohnya bangsa yang di dalamnya terdapat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menjadi sebuah kangker yang semakin hari menggerogoti dan membunuh kemanusiaan, persatuan, keadilan, dan kesejahteraan.

Maka dari itu metode pengajaran pendidikan Pancasila harus lah mengalami transformasi yang merubah penghapalan menjadi pembahasan secara komprehensif.

Diskursus-diskursus  tentang Pancasila tidaklah menjadi tempat yang hanya meneriakkan kata “Pancasila Final” dan jargon-jargon lainya saja. Tetapi seyogyanya menjadi tempat benturan perspektif dan membuka ruang selebar-lebarnya untuk mengupas kembali Pancasila secara komprehensif.

Agar tak ada lagi interpretasi konyol yang berdampak buruk bagi nalar dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga Pancasila benar-benar menjadi dasar yang mengakar dalam setiap hati dan pikiran warga negara dan menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penulis : Indra Hermawam

Sekretaris Fungsi Pendidikan Kader dan Kerohanian GMKI Balikpapan

Mahasiswa Tingkat Akhir STT Migas Balikpapan

Comments

comments

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Exit mobile version