Ketua DPR: Usulan Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Harus Lewati Mekanisme Resmi
JAKARTA, Inibalikpapan.com — Ketua DPR RI Puan Maharani menanggapi polemik seputar usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua, Soeharto, yang menuai penolakan dari berbagai elemen masyarakat, khususnya para aktivis 98.
Puan menegaskan bahwa proses pemberian gelar kehormatan negara tidak bisa diputuskan secara sepihak. Seluruh usulan, menurutnya, harus melalui mekanisme resmi dan kajian objektif yang melibatkan lembaga negara terkait.
Hal itu disampaikannya usai memimpin Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Penutupan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2024–2025 di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (27/5/2025).
“Ya, setiap usulan gelar itu ada dewan kehormatan atau dewan khusus yang mengkaji siapa yang bisa menerima atau tidak,” ujar Puan, dikutip dari laman DPR.
Kajian Sejarah Jadi Dasar Penilaian
Politisi PDI Perjuangan itu menyatakan, kajian atas calon penerima gelar pahlawan dilakukan untuk menjamin objektivitas dan akurasi sejarah, serta mempertimbangkan beragam perspektif publik.
“Biar dewan-dewan itu yang mengkaji apakah usulan-usulan tersebut memang layak diterima,” lanjut Puan.
BACA JUGA :
Ia juga mengingatkan bahwa gelar pahlawan nasional adalah penghargaan tertinggi dari negara yang harus melalui prosedur administratif dan historis yang ketat, bukan didasarkan pada keputusan politik semata.
Gelombang Penolakan dari Aktivis 98
Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto kembali mencuat di ruang publik dan memicu protes. Sejumlah aktivis 1998 secara tegas menolak rencana tersebut dalam diskusi bertajuk “Refleksi 27 Tahun Reformasi: Soeharto, Pahlawan atau Penjahat HAM?” yang digelar di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Selatan, Sabtu (24/5/2025).
“Ini bukan sekadar peringatan Reformasi. Ini peringatan terhadap wacana gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. Kami menolak dengan tegas,” kata Mustar Bonaventura, perwakilan aktivis 98.
Para aktivis menilai bahwa Soeharto belum sepenuhnya mempertanggungjawabkan berbagai pelanggaran HAM dan otoritarianisme di masa pemerintahannya, sehingga pemberian gelar pahlawan dinilai tidak tepat secara moral dan historis.
BACA JUGA

