KIKA Tolak Usulan Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto

Logo Komite Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)
Logo Komite Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)

JAKARTA, Inibalikpapan.com – Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menolak tegas wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Mereka menyebut langkah itu sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi dan penghinaan terhadap korban pelanggaran HAM berat di masa Orde Baru.

KIKA menilai, masuknya nama Soeharto dalam daftar 40 tokoh yang diusulkan Kementerian Sosial (Kemensos) kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan (GTK) merupakan keputusan yang mencederai nilai kemanusiaan dan demokrasi yang diperjuangkan sejak 1998.

“Pemberian gelar ini bukan hanya pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tapi juga luka baru bagi korban pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa Orde Baru,” tegas KIKA dalam keterangan tertulis, Sabtu 1 Oktober 2025.

Selama berkuasa lebih dari tiga dekade (1966–1998), rezim Soeharto meninggalkan warisan kelam berupa praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), pembungkaman kebebasan pers, serta pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.

Beberapa tragedi besar di masa pemerintahannya antara lain Peristiwa 1965–1966, Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), DOM Aceh (1989–1998), hingga penghilangan paksa aktivis 1997–1998 dan Tragedi Trisakti–Semanggi 1998–1999.

Transparency International pada 2004 bahkan menobatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup di dunia, dengan dugaan penggelapan dana publik mencapai US$15–35 miliar.

Ironinya, di saat yang sama, Marsinah, buruh perempuan yang menjadi simbol perjuangan keadilan dan korban kekerasan negara di era Orde Baru, juga diusulkan menjadi Pahlawan Nasional oleh Kemensos.

“Menjadikan Soeharto pahlawan sementara Marsinah adalah korban sistem represif yang ia bangun — itu adalah ironi sejarah dan pelecehan terhadap perjuangan kemanusiaan,” ujar KIKA.

KIKA mengingatkan bahwa negara sendiri telah mengakui 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo pada 2023. Sebagian besar dari pelanggaran itu terjadi pada masa kekuasaan Soeharto.

“Fakta ini menegaskan bahwa Soeharto bukan figur kepahlawanan, melainkan simbol kekerasan negara,” lanjut KIKA.

Organisasi ini menilai, jika usulan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto tetap dilanjutkan, maka hal itu akan menjadi “kematian simbolik reformasi 1998” dan mengembalikan Indonesia ke era glorifikasi kekuasaan otoriter.

KIKA Menegaskan:

  1. Menolak secara tegas pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
  2. Mendesak negara mengakui dan menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu serta memberikan keadilan bagi korban.
  3. Menjaga memori sejarah agar tidak terjadi distorsi dan glorifikasi pelaku pelanggaran HAM.
  4. Mengajak civitas akademika dan masyarakat sipil mempertahankan semangat reformasi serta menolak normalisasi kekuasaan otoriter.

“Bangsa yang melupakan luka sejarahnya akan kehilangan arah moralnya. Menjadikan Soeharto pahlawan berarti menghapus jejak kejahatan negara dan melecehkan ingatan para korban,” tutup pernyataan KIKA. ***

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses