Komisi X DPR Soroti Ketimpangan PTN–PTS dan Nasib Dosen Non-ASN, Minta Reformasi Pendidikan Tinggi 2026
JAKARTA, Inibalikpapan.com – Komisi X DPR RI menyampaikan catatan akhir tahun pendidikan tinggi yang menyoroti berbagai persoalan struktural, mulai dari diskriminasi antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) hingga kesejahteraan dosen non-ASN yang dinilai masih jauh dari kata adil.
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menegaskan bahwa tahun 2026 harus menjadi momentum reformasi tata kelola pendidikan tinggi nasional agar lebih berkeadilan, berkualitas, dan berorientasi pada keunggulan akademik, bukan sekadar kuantitas.
Catatan tersebut disampaikan Hetifah dalam diskusi publik bertajuk Evaluasi & Outlook Pendidikan Tinggi & Riset Menuju Kampus Global bersama Universitas Paramadina Jakarta, Senin (16/12/2025).
PTN Dikejar Kuantitas, Mutu dan Riset Tertinggal
Dalam keterangannya, Hetifah menyoroti paradoks di sejumlah PTN yang dinilai terlalu fokus pada pertumbuhan jumlah mahasiswa dan program studi, namun abai terhadap peningkatan mutu pendidikan dan riset.
“Pertumbuhan mahasiswa, program studi, dan penerimaan yang masif tidak selalu dibarengi peningkatan kualitas pendidikan dan riset,” ujar Hetifah, Rabu (17/12/2025).
Ia menjelaskan, dalam dua dekade terakhir banyak PTN tumbuh menjadi kampus raksasa dengan puluhan ribu mahasiswa setiap tahun. Kondisi ini berdampak pada menurunnya rasio dosen–mahasiswa, membengkaknya ukuran kelas, serta melemahnya kualitas pembelajaran dan riset.
“PTN kita semakin besar secara ukuran, tetapi belum sepenuhnya menjadi pusat keunggulan intelektual dan pengembangan ilmu pengetahuan,” tegas politisi Fraksi Partai Golkar tersebut.
PTS Terpinggirkan, Negara Diminta Hadir Lebih Adil
Hetifah menilai ekspansi PTN, khususnya PTN Badan Hukum (PTN-BH), turut menciptakan persaingan tidak sehat dengan PTS. Padahal, PTS selama ini berperan besar memperluas akses pendidikan tinggi, terutama di daerah, meski minim dukungan APBN.
Sebagai bentuk keberpihakan, Komisi X DPR RI mendorong kebijakan afirmatif bagi PTS, salah satunya melalui Bantuan Operasional Perguruan Tinggi (BOPT) yang selama ini hanya dinikmati PTN lewat skema BOPTN.
“BOPT untuk semua perguruan tinggi adalah ikhtiar menghadirkan keadilan, seperti BOS pada pendidikan dasar dan menengah,” jelasnya.
Kesejahteraan Dosen Non-ASN Jadi Sorotan Serius
Komisi X DPR RI juga menyoroti ketimpangan kesejahteraan dosen non-ASN, yang mayoritas mengabdi di PTS. Hetifah menegaskan kualitas pendidikan tinggi sangat bergantung pada kesejahteraan dosennya.
“Ketimpangan perlakuan terhadap dosen PTS merupakan persoalan serius yang harus segera dikoreksi,” tegasnya.
Komisi X mendorong penyesuaian tunjangan profesi dosen non-ASN agar tidak terjadi jurang kesejahteraan yang terlalu lebar dengan dosen ASN di PTN.
Akses Mahasiswa Miskin dan Revisi UU Sisdiknas
Dari sisi akses, Komisi X DPR RI juga memperjuangkan peningkatan kuota Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah bagi mahasiswa PTS, guna memastikan calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu tidak mengalami diskriminasi berdasarkan status kampus.
Semangat keadilan ini turut dibawa dalam pembahasan Revisi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) melalui pendekatan kodifikasi undang-undang pendidikan, termasuk UU Pendidikan Tinggi.
“Regulasi ke depan harus mengurangi beban finansial mahasiswa dan kampus, serta menciptakan ekosistem pendidikan tinggi yang seimbang antara PTN dan PTS,” tegas Hetifah.
Menutup catatan akhir tahunnya, Hetifah menegaskan komitmen politik Komisi X DPR RI untuk mengembalikan pendidikan tinggi pada jati dirinya.
“Tahun depan harus menjadi momentum perbaikan. Kampus bukan sekadar pabrik gelar, tetapi pusat keunggulan, keadilan, dan pencerahan bangsa,” pungkasnya. / DPR
BACA JUGA
