Korban Kekerasan Perempuan dan Anak Sulit Melapor, Hanya Sedikit Tercatat di Sistem
BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, mengungkapkan bahwa perlindungan dan layanan bagi korban kekerasan perempuan dan anak di Indonesia masih belum optimal.
Salah satu penyebabnya, hanya sebagian kecil korban yang tercatat dalam sistem pelayanan resmi karena masih banyak yang belum merasa aman untuk melapor.
“Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 mencatat satu dari empat perempuan usia 15–64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual,” kata Arifah dalam siaran persnya
Sementara Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 menunjukkan satu dari dua anak di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan.
“Namun hanya sebagian kecil kasus yang tercatat di sistem pelayanan. Ini menunjukkan korban masih sulit bicara dan belum merasa aman untuk melapor,” bebernya
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), hingga 3 Juli 2025 tercatat 14.039 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan lonjakan lebih dari 2.000 kasus hanya dalam 17 hari. Namun angka tersebut masih jauh lebih rendah dibanding temuan prevalensi kekerasan dari survei nasional.
Arifah menegaskan, perlindungan perempuan dan anak merupakan mandat konstitusi yang diperkuat dengan sejumlah regulasi, seperti Perpres No. 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan serta Penanganan Tindakan Kekerasan Seksual.
Kemudian Permen PPPA No. 1 Tahun 2021 tentang Dana Alokasi Khusus Non Fisik Dana Pelayanan Perlindungan Perempuan dan Anak, PP No. 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan PP No. 30 Tahun 2025 tentang Pencegahan, Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual.
Pemerintah juga tengah memperkuat Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (GN-AKPA) yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga.
“GN-AKPA bukan milik satu institusi. Ini gerakan bersama agar pencegahan, perlindungan, dan pemulihan berjalan konkret di lapangan. Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) sedang disusun agar masuk ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah,” ujarnya.
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Asep Nana Mulyana menyampaikan bahwa Kejaksaan Agung telah membentuk direktorat khusus yang menangani perkara anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Penguatan kelembagaan ini diharapkan membuat penanganan perkara lebih responsif terhadap korban.
Namun Asep mengakui tantangan di lapangan bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga membangun keberanian korban, khususnya anak, untuk bersuara.
“Sering kali korban tidak menyadari dirinya sebagai korban. Kami butuh dukungan Kemen PPPA untuk memperkuat pemahaman korban agar bisa memberikan kesaksian dengan aman, tanpa tekanan, dan dengan pendampingan yang tepat,” katanya.
Rapat Evaluasi Kinerja tersebut juga dihadiri Menteri Komunikasi dan Digital serta Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) sebagai wujud komitmen lintas sektor dalam merespons kekerasan terhadap kelompok rentan secara lebih strategis dan terintegrasi. / Info Publik
BACA JUGA
