Kurikulum 13 dan Merdeka Tetap Jadi Dasar Utama Pembelajaran Tahun Ajaran Baru
JAKARTA, Inibalikpapan.com — Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menegaskan bahwa tidak ada kurikulum baru yang diberlakukan di sekolah-sekolah Indonesia saat ini.
Pemerintah tetap mengacu pada Kurikulum 2013 (K13) dan Kurikulum Merdeka sebagai dasar utama pembelajaran, termasuk di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
“Kurikulum tidak ada yang baru atau perubahan nama,” ujar Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran BSKAP, Laksmi Dewi
“Yang berlaku tetap K13 dan Kurikulum Merdeka. Untuk wilayah 3T, Kurikulum 2013 masih dapat digunakan hingga tahun ajaran 2026–2027,” tambah Laksmi.
Deep Learning Bukan Kurikulum Baru, Tapi Metode
Laksmi juga mengklarifikasi soal “deep learning” yang belakangan ramai diperbincangkan. Ia menegaskan bahwa deep learning bukan kurikulum baru, melainkan pendekatan pembelajaran yang menekankan pemahaman mendalam, pengembangan karakter, serta rasa kegembiraan dalam proses belajar.
“Karena ingin mendalam, maka materi pelajaran tidak boleh terlalu banyak. Yang penting siswa benar-benar memahami dan menikmati prosesnya,” ungkapnya.
Model ini terinspirasi dari sistem pendidikan di negara-negara seperti Australia, Kanada, dan Swedia, yang telah terbukti sukses meningkatkan mutu lulusan.
Latih Ribuan Guru, Bangun 8 Profil Kompetensi Siswa
Sebagai bagian dari transformasi pembelajaran, BSKAP bersama Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan telah melatih sekitar 200 narasumber nasional. Para narasumber akan melanjutkan pelatihan secara bertahap kepada guru-guru di seluruh Indonesia melalui sistem cloning dan webinar daring.
Adapun target utama dari penerapan deep learning adalah membentuk profil lulusan dengan delapan dimensi kompetensi utama, yaitu:
- Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan YME
- Kewargaan
- Kreativitas
- Kemandirian
- Komunikasi
- Kesehatan
- Kolaborasi
- Penalaran kritis
Cegah Sekolah Hanya Jadi Formalitas
Kemendikdasmen juga ingin mengatasi fenomena “schooling without learning”—di mana siswa bersekolah tanpa benar-benar mengalami proses belajar yang bermakna.
Namun, Laksmi mengingatkan bahwa keberhasilan pendekatan ini tetap sangat bergantung pada kualitas guru, dukungan keluarga, dan lingkungan belajar yang kondusif.
“Secara teori, ini bisa berhasil. Tapi praktiknya bergantung pada banyak faktor,” pungkasnya.
BACA JUGA
