Lomba Motif Batik Khas Balikpapan Masuki Tahap Final, Enam Karya Terbaik Lewati Penjurian Ketat
BALIKPAPAN, inibalikpapan.com – Lomba Motif Batik Khas Kota Balikpapan yang digelar Dinas Koperasi UMKM dan Perindustrian (DKUMKMP) memasuki fase akhir dengan penilaian paling komprehensif. Setelah seleksi awal dari puluhan peserta, enam karya terbaik kini melaju untuk memperebutkan juara 1, 2, 3, serta harapan 1, 2, dan 3.
Penjurian dilakukan oleh tim profesional, salah satunya Agus Haerudin dari Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Yogyakarta. Pada tahap pertama, tim menilai karya dari aspek estetika, teknik pengerjaan, nilai budaya, hingga karakter visual yang menampilkan identitas Balikpapan. Agus menegaskan bahwa batik tidak hanya soal gambar indah, tetapi kemampuan stilasi dan rasa artistik yang melekat pada setiap goresan.
“Kami tidak melihat gambar yang literal, tetapi bagaimana peserta mampu mengolah bentuk asli menjadi gaya batik. Di situlah seni batik berbicara,” ujarnya.
Aspek kebaruan ide juga menjadi penilaian penting. “Apakah motif yang dibuat benar-benar baru? Apakah ia membawa cerita khas Balikpapan yang belum pernah dituangkan sebelumnya? Itu menjadi nilai penting,” ungkap Agus.
Selain estetika, kerapihan garis, kesesuaian ruang, serta kelayakan motif ketika diaplikasikan pada kain dan busana juga menjadi sorotan. “Motif yang bagus belum tentu enak dipakai. Maka kami menilai apakah desain ini layak untuk produksi kain dan busana,” tambahnya.
Nominator Ikuti Proses Wawancara
Jika penjurian awal menilai hasil karya, tahap berikutnya langsung menguji kemampuan peserta mempertanggungjawabkan proses kreatifnya. Sepuluh besar nominator mengikuti wawancara teknis untuk membuktikan bahwa karya adalah benar milik sendiri, bukan produksi pihak lain.
“Kami gali kebenaran karya ini. Apakah betul original ciptaannya, bukan karya orang lain yang dilombakan. Ini syarat paling penting,” ujarnya.
Melalui wawancara tersebut, peserta diuji mengenai pengetahuan proses membatik dari awal hingga akhir: mulai desain, stilasi, pemalaman, pewarnaan, hingga teknik produksi pada kain.
“Kami ingin melihat apakah peserta benar memahami proses membatik. Ketika ia bisa menjelaskan dan mempertanggungjawabkan prosesnya, di situlah terlihat bahwa ia memang pemilik karya tersebut,” jelas Agus.
Peserta juga diminta memaparkan filosofi motif, termasuk bagaimana desain mampu menampilkan karakter asli Balikpapan dan tidak meniru gaya daerah lain.
“Kami ingin motif benar-benar terlahir dari ornamen khas Balikpapan, bukan meniru gaya daerah lain. Ini nilai tertinggi dalam kompetisi,” katanya.
Tahap wawancara turut menilai kesiapan motif ketika diterapkan pada produk busana, termasuk perangkat produksi seperti canting cap, penempatan motif di bagian depan–belakang pakaian, dan kesesuaian ukuran desain dengan kebutuhan fashion.
Hasil wawancara bahkan membuat beberapa nilai peserta mengalami perubahan signifikan. “Ada yang nilainya turun karena tidak bisa menjawab, sehingga terlihat bukan karyanya. Ada juga yang nilainya justru naik setelah wawancara, karena kami akhirnya memahami bahwa karya itu otentik,” tegas Agus.***
BACA JUGA
