Momentum Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember tentu merupakan hari yang bersejarah bagi kaum perempuan (Ibu). Melalui Dekrit Presiden No 316, Presiden Soekarno telah menetapkan perayaan Hari Ibu ini dimulai semenjak tahun 1959.

Walaupun sebenarnya, momentum Hari Ibu tersebut sudah mulai di peringati semenjak para perempuan melaksanakan Kongres Perempuan I pada tanggal 22 – 25 Desember 1928 di Jogjakarta yang disebut juga dengan KOWANI (Kongres Wanita Indonesia).

Perempuan yang tergabung dalam 30 organisasi perempuan berkumpul dan menghadiri Kongres untuk menyatukan fikiran agar dapat merubah nasib kaum perempuan. Kongres tersebut berhasil merumuskan 4 tuntutan, yang dimana salah satunya adalah pendidikan bagi anak perempuan. Tentulah hari tersebut menjadi suatu peristiwa penting dalam tonggak sejarah. Peringatan ini tidak hanya ditujukan kepada Ibu, melainkan juga seluruh perempuan Indonesia sebagai penghargaan atas keikutsertaan nya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan membangun negeri.

Berkaca dari tokoh perempuan pada masa itu, perempuan Hindia Belanda tidak leluasa untuk merasakan pendidikan, termasuk R.A Kartini sendiri. Kaum perempuan sulit untuk menjalani kegiatan diluar rumah, termasuk bersekolah karena terkukungkung oleh adat yang mewajibkan perempuan dipingit. Namun, R.A Kartini merasa ada tugas besar kelak nantinya yang membuat ia dengan gigihnya memperjuangkan hak perempuan agar dapat sejajar dengan laki-laki dalam hal pendidikan.

Melihat usaha-usaha para tokoh pendidikan yang berjuang tak kenal lelah, maka sepatutnya momentum hari Ibu menjadi salah satu kesempatan untuk para perempuan melanjutkan cita-cita mereka terdahulu.

Ironisnya pada masa kini, momentum Hari Ibu hanyalah sebagai seremonial belaka. Hal yang pernah menjadi peristiwa penting, kini semata mata hanya dijadikan perayaan simbolis dengan ucapan selamat maupun pemberian sebuah hadiah sebagai penghargaan terhadap jasanya. Meskipun tidak salah, bahkan jika dilihat secara umum hal tersebut menjadi sebuah tren positif yang perlu di apresiasi. Namun, lambat laun esensi dari momentum Hari Ibu itu sendiri akan bergeser karna telah di kesampingkan bahkan di lupakan. Mengingat perjuangan tokoh perempuan dulu, sekiranya momentum ini bisa lebih diwarnai dengan pemikiran akan kondisi dan nasib perempuan serta melakukan tindakan nyata, khususnya dari segi pendidikan.

Pendidikan merupakan satu hal yang sangat penting untuk masyarakat desa maupun kota agar berkualitas dan jauh dari kebodohan. Pendidikan juga dapat dikatakan suatu alat perubahan yang strategis untuk memperbaiki nasib kaum perempuan. Karena pada proses memperoleh pendidikan mempunyai peranan besar dalam mencapai satu tujuan. Tapi pada kenyataan nya hal itu tidak berlaku kepada kaum perempuan. Masih ada saja perempuan yang tidak diberikan kesempatan maupun perhatian untuk bisa mengenyam pendidikan yang sama seperti laki-laki.

Seringkali dan bukan suatu hal yang asing bagi kita ketika terdengar kalimat “perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, karna mereka nantinya hanya berkutat di dapur saja”. Begitulah pandangan masyarakat yang terus melekat hingga kini bahwa perempuan tidak wajib untuk berpendidikan formal setinggi-tinggi nya seperti laki-laki.

Memiliki pendidikan tinggi bagi seorang perempuan tidak bisa dikatakan mudah untuk dicapai, apalagi jika dikaitkan dengan peran domestik. Peran domestik pula menjadi salah satu alasan terbesar bahwa perempuan tidak membutuhkan pendidikan tinggi. Sehingga perempuan tidak terlalu diutamakan untuk merasakan pendidikan.

Terbukti dengan jumlah angka tuna aksara di Indonesia yang cukup tinggi meskipun telah terjadi penurunan beberapa tahun belakang. Pada tahun 2005 tuna aksara di Indonesia mencapai 9,55% dengan kisaran 14,9 juta orang secara nasional. Tahun 2015, angka tersebut turun menjadi 5,96 juta orang dan dua tahun setelahnya kembali turun menjadi 3,4 juta orang. Yang amat menyedihkan, jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, ternyata buta huruf atau tuna aksara di dominasi oleh perempuan dengan pencapaian angka 2.258.990 orang, sedangkan laki-laki mencapai 1.157.703 orang. (Sumber data BPS Tahun 2016)

Padahal, pendidikan perempuan merupakan salah satu alasan penting untuk memajukan suatu bangsa agar terhindar dari perdagangan manusia, dimana perempuan rentan terhadap perdagangan ketika mereka miskin dan tidak berpendidikan.

Memperbaiki tingkat pendidikan bagi perempuan juga termasuk cara agar keterwakilan perempuan dalam panggung politik meningkat sehingga bisa mengakomodir suara-suara perempuan. Dan apabila perempuan mengenyam pendidikan yang sama dengan laki-laki pada dunia pendidikan, politik, bisnis dan ekonomi atau ruang publik yang lainnya, maka nantinya perempuan akan turut serta dalam perbaikan bangsa kedepan.

Sebuah keharusan pula untuk perempuan agar dapat berpendidikan tinggi, sebab kelak kaum perempuan akan memiliki pengaruh dan tugas besar sebagai Ibu sekaligus pendidik bagi anak-anaknya. Karena Ibu yang cerdas melahirkan anak yang cerdas pula.

Pendidikan tinggi yang dimaksud bukan hanya sekedar pendidikan formal yang diperoleh melalui bangku sekolah maupun universitas. Tapi bagaimana perempuan mempunyai pengetahuan yang luas dan berusaha meraih pendidikan yang lebih baik.

Namun terlepas itu semua, perempuan tidak lantas memilih salah satu diantara perannya pada ruang domestik atau ruang publik. Peran perempuan dalam ruang publik itu akan menjadi luar biasa ketika disempurnakan dengan perempuan yang tidak melupakan dan masih tetap mengambil bagian dari peran domestiknya.

Melalui momentum ini, semoga selalu menjadi pengingat kita bersama sebagai perempuan Indonesia tentang intisari dan api semangat dalam Kongres Perempuan Indonesia 22 Desember 1928 ketika itu (Jas Merah). Dengan melihat situasi-situasi hari ini yang membuka ruang publik seluas-luasnya bagi perempuan diharapkan tidak lantas membuat perempuan mengabaikan peran domestiknya sebagai istri dan ibu bagi generasinya kelak.

Stop soal bahasa dan pardigma berfikir yang masih juga berharap kepada laki-laki tentang peran dan porsi perempuan dalam aktifitas publik, karena tanpa dorongan SDM dan kepercayaan diri yg kuat dari kita sebagai perempuan kondisi ini akan tetap sama saja.

Mari beraktifitas dengan mengisi kemerdekaan pada ruang publik dan posisi yang mampu mendorong perubahan bagi kita sendiri, dengan menjadi seorang istri, Ibu dan menjadi pelopor dalam setiap perubahan bagi kemajuan perempuan indonesia dan turut serta dalam bagian membangun bangsa dan negara ini. Karena bagi saya, Hari ibu itu sebagai momentum kita merefleksikan diri untuk menterjemahkan peran perempuan hari ini. Bukan sekedar mengingat jasa para perempuan indonesia pada masa lalu atau sekedar mengingat jasa kasih sayang ibu kepada kita.

 

Penulis : Dea Sastika (Aktivis GMNI Balikpapan)

 

 

Comments

comments

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Exit mobile version