Mengenal ‘Si Huma’, Animasi Pertama Buatan Indonesia, Viral Usai Merah Putih One For All
JAKARTA, inibalikpapan.com – Jauh sebelum lahirnya film-film animasi modern Indonesia seperti Jumbo hingga Merah Putih: One for All, Tanah Air sudah memiliki serial animasi televisi pertamanya. Namanya Si Huma, karya yang mungkin sudah terlupakan, terutama oleh generasi muda.
Melansir Suara, jaringan inibalikpapan.com, cuplikan Si Huma kembali beredar setelah diunggah ulang akun Instagram Catatan Film pada Rabu (13/8/2025). Serial ini pertama kali tayang di TVRI pada 30 Maret 1983, menjadi tonggak sejarah dimulainya era animasi di Indonesia. Diproduksi oleh Studio Produksi Film Negara (PPFN), Si Huma saat itu mendapat dukungan dari United Nations Children’s Fund (UNICEF), lembaga internasional yang berfokus pada hak anak dan perempuan.
Berbeda dengan animasi modern yang memanfaatkan teknologi digital, Si Huma dibuat dengan teknik tradisional stop-motion yang dipadukan dengan cut-out animation. Prosesnya memakan waktu lama dan membutuhkan ketelitian tinggi, mencerminkan dedikasi para animator pada masa itu.
Tentang Si Huma
Serial ini mengisahkan petualangan seorang anak desa bernama Huma bersama teman-temannya, termasuk teman imajinasinya, Windi. Cerita-ceritanya sederhana namun sarat pesan moral seperti menjaga lingkungan, menjalin persahabatan, dan gotong royong. Tema edukasi juga diangkat, antara lain bahaya penyakit demam berdarah, TBC, dan kolera, serta pentingnya kebersihan untuk mencegah banjir.
Kembalinya perhatian pada Si Huma muncul bersamaan dengan perbincangan soal Merah Putih: One for All, film animasi terbaru yang dirilis pada 14 Agustus 2025. Film berdurasi 70 menit itu menceritakan misi delapan anak dari berbagai suku untuk menemukan bendera pusaka yang hilang. Meski mengangkat tema nasionalis, trailer film ini menuai kritik di media sosial. Beberapa warganet menyoroti kualitas visual yang dinilai seadanya, serta dugaan penggunaan aset digital yang bukan dibuat dari nol.
Seorang animator bahkan mempertanyakan proses produksinya yang dinilai terlalu singkat. “Untuk membuat animasi 10 menit dengan kualitas baik saja bisa memakan waktu hingga dua tahun,” ujarnya. Produser film, Toto Soegriwo, membantah menerima dana dari pemerintah, namun kritik terhadap kualitas karya tetap bermunculan.
Dengan keterbatasan teknologi pada awal 1980-an, Si Huma dianggap berhasil menunjukkan standar, semangat, dan keseriusan berkarya. Setiap gambar merupakan hasil goresan tangan, menjadi bukti dedikasi untuk menghadirkan tontonan baru yang mendidik bagi penonton Indonesia. Beberapa warganet bahkan membandingkan kualitas visual Si Huma dengan film animasi terbaru tersebut.***
BACA JUGA
