MK Tolak Permohonan Naikkan Syarat Pendidikan Capres-Cawapres Jadi S-1, Tegaskan Tak Ada Diskriminasi Konstitusional

Gedung Mahkamah Konstitusi (foto : indonesia.go.id)
Gedung Mahkamah Konstitusi /ist

JAKARTA, Inibalikpapan.com – Mahkamah Konstitusi (MK) secara bulat menolak permohonan uji materi Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait syarat pendidikan calon presiden dan wakil presiden.

Permohonan yang meminta agar syarat pendidikan minimal diubah dari lulusan SMA atau sederajat menjadi minimal Sarjana S-1 itu dianggap membatasi hak konstitusional warga negara.

Putusan MK Nomor 87/PUU-XXIII/2025 dibacakan dalam sidang pleno pada Selasa (17/6/2025) di Ruang Sidang MK, dipimpin Ketua MK Suhartoyo, didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.

“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,“ tegas Suhartoyo saat membacakan amar putusan.

Permohonan ini diajukan oleh Hanter Oriko Siregar dan Horison Sibarani, yang berargumen bahwa lulusan SMA tidak dibekali kemampuan tata kelola pemerintahan dan pemahaman global yang cukup untuk memimpin negara sebesar Indonesia.

Mahkamah: Mengubah Syarat Jadi S-1 Justru Diskriminatif

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyatakan bahwa Pasal 169 huruf r merupakan bagian dari persyaratan yang sah secara konstitusional berdasarkan delegasi Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. UUD tidak mengatur secara eksplisit batas minimum pendidikan capres-cawapres, sehingga hal ini menjadi kewenangan pembentuk UU.

“Jika syarat pendidikan dinaikkan ke jenjang S-1, justru akan membatasi hak warga negara yang hanya lulusan SMA namun memiliki integritas dan kapasitas untuk maju,” jelas Ridwan.

Mahkamah menekankan bahwa partai politik tetap bebas mengusung kandidat dengan pendidikan tinggi. Norma saat ini tidak menghalangi hadirnya tokoh-tokoh dengan gelar akademik lebih tinggi dalam bursa capres-cawapres.

Kebijakan Pendidikan Adalah Ranah DPR dan Presiden

MK menegaskan bahwa syarat pendidikan merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang menjadi wewenang DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang. Perubahan syarat dapat dilakukan sewaktu-waktu, selama tidak melanggar prinsip konstitusional seperti keadilan, non-diskriminasi, dan rasionalitas.

“Selama persyaratan itu tidak melanggar moralitas, rasionalitas, dan tidak menciptakan ketidakadilan yang intolerabel, maka sah secara hukum,” tegas MK.

Meski demikian, Mahkamah tidak menutup kemungkinan bahwa DPR dan Presiden dapat meninjau ulang syarat pendidikan di masa mendatang, apabila dipandang perlu berdasarkan dinamika sosial-politik dan kebutuhan bangsa./humas MK

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses