BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com – Seorang warga atas nama E. Ramos Petege yang beragama Katolik mengajukan uji materi Undang-undang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dilansir dari laman MK, Ramos hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Namun, perkawinan itu harus dibatalkan di karenakan perkawinan beda agama tidak diakomodasi oleh UU Perkawinan.

Pemohon karena merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut, kemudian mengajukan uji materi UU Perkawinan  yaitu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f

Dalam sidang, Ramos menghadirkan Ade Armando sebagai ahli. Tidak ada tafsir tunggal dari Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan tentang perkawinan beda agama.

Bahkan Kata Ade, Mahkamah Agung menyatakan UU Perkawinan tidak memuat ketentuan mengenai perbedaan agama antara calon suami dan istri merupakan larangan perkawinan.

Hal ini lanjutnya, sejalan dengan Pasal 27 UUD 1945 yang di dalamnya juga mencakup hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara meskipun berbeda keyakinan.

Ade Armando yang juga pakar Komunikasi Bidang Semiotika melandaskan pemikirannya pada teks-teks Islam. Menurutnya, tidak ada satu pun teks di dalam Al-Qur’an yang mengharamkan semua bentuk pernikahan antaragama.

Hal yang secara jelas disebutkan dilarang, sambung Ade, hanyalah pernikahan antara muslim dengan musyrik dan kafir. Sehingga tidak ada yang menyatakan pernikahan beda agama termasuk antara muslim dengan Nasrani adalah sesuatu yang haram.

“Jadi, yang berlangsung adalah perbedaan tafsir, dan perbedaan ini yang menyebabkan perbedaan keyakinan memahami aturan mengenai perkawinan beda agama,” sebut Ade

Sidang tersebut dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan Perkara Nomor 24/PUU-XX/2022. Anwar  didampingi delapan hakim konstitusi lainnya, dilaksanakan dari Ruang Sidang Pleno MK yang diikuti para pihak secara daring.

Pada kesempatan yang sama, pemohon juga menghadirkan Rocky Gerung sebagai Ahli. Rocky menyampaikan pandangannya berdasarkan filsafat hukum.

Menurut Rocky, UU Perkawinan justru bermasalah karena mengatur yang disediakan oleh alam. Perkawinan adalah peristiwa perdata dan di dalam undang-undang disebut sebagai hak dan bukan kewajiban.

Dalam undang-undang tersebut jelas mengatakan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan. Sehingga hak dapat dimaknai sesuatu yang boleh diambil atau dilaksanakan dan boleh tidak. Kedudukan hak tersebut adalah fakultatif bukan imperatif.

“Oleh karena itu perkawinan adalah hak dan bukan kewajiban. Jika seseorang menggunakan haknya, maka negara harus mencatatkannya secara administratif bahwa dia telah menggunakan haknya,” jelas Rocky.

Demikian juga hak beragama, menurut Rocky, juga bukan kewajiban sehingga negara tidak boleh menyuruh orang untuk beragama. Sehingga, dari dua hak yang bersifat fakultatif ini, negara tidak punya alasan menjadikannya menjadi imperatif atau keharusan. Maka, hal ini dipandang Rocky menjadi sebuah kekacauan logis yang berakibat pada paradoks.

Oleh karena itu, setiap perkawinan adalah keputusan privat setiap orang yang harus dilayani oleh negara. Maka, demi ketegasan tentang hak dan kewajiban negara hanya boleh mencatat peristiwa itu sebagai peristiwa perdata.

“Yang jadi masalah sekarang adalah negara memanfaatkan agama untuk mengatur kamar tidur orang, itu enggak boleh. Demikian sebaliknya, agama memanfaatkan negara untuk mengintip kamar tidur orang, itu juga enggak boleh. Bahwa kemudian itu dosa, segala macam, itu urusan dia dengan akhirat nanti itu. Bukan urusan negara untuk memastikan hal-hal yang bersifat privat itu,” jelas Rocky.  

Comments

comments

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Exit mobile version