Pemerintah Siapkan RUU Pidana Mati Berbasis HAM
JAKARTA, Inibalikpapan.com – Pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang menandai perubahan mendasar dalam sistem hukum pidana Indonesia.
RUU ini menekankan bahwa pelaksanaan pidana mati bukan semata bentuk penghukuman, melainkan juga menjaga prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM) bagi terpidana.
Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, prinsip perlindungan HAM dalam RUU tersebut bersumber langsung dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
“Prinsip HAM ini berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia,” ujarnya
Gantikan Aturan Lama Era 1964
RUU ini disusun untuk menggantikan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang selama enam dekade menjadi dasar hukum pelaksanaan pidana mati di Indonesia.
“Setelah kami membahas dan mendapat paraf dari kementerian/lembaga, RUU ini akan segera kami ajukan ke Presiden bersama RUU Penyesuaian Pidana,” jelas Eddy, yang juga Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada.
Menurutnya, RUU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 berdasarkan keputusan DPR RI Nomor 23/DPR RI/I/2025–2026.
Ada Masa Percobaan, Hak Narapidana Diperkuat
Berbeda dari aturan lama yang cenderung administratif, RUU baru ini menghadirkan pendekatan kemanusiaan dan due process.
Hak-hak narapidana yang diatur mencakup:
- Bebas dari penggunaan alat pengekangan berlebihan.
- Mendapatkan fasilitas hunian yang layak.
- Diperbolehkan berkomunikasi dengan keluarga setelah penetapan pelaksanaan pidana mati.
- Berhak mengajukan tempat pelaksanaan dan tata cara penguburan sesuai keyakinannya.
RUU ini juga memperjelas syarat pelaksanaan pidana mati, yakni jika selama masa percobaan terpidana tidak menunjukkan sikap terpuji atau tak menunjukkan perubahan perilaku, dan setelah permohonan grasi ditolak serta kondisi fisiknya dinyatakan sehat.
“Syarat pelaksanaan pidana mati meliputi telah mengajukan grasi dan grasinya ditolak, serta terpidana dalam kondisi sehat,” tegas Eddy.
Kajian Eksekusi Lebih Manusiawi
Dalam aspek pelaksanaan, pemerintah juga membuka ruang kajian ilmiah terhadap metode eksekusi yang lebih cepat dan minim penderitaan, menggantikan metode tembak mati yang digunakan selama ini.
“Secara ilmiah bisa dipertimbangkan cara yang mendatangkan kematian paling cepat, baik dengan kursi listrik, tembak mati, atau injeksi,” ungkapnya.
Reformasi Hukum Pidana
RUU ini menjadi bagian penting dari reformasi hukum pidana nasional, terutama setelah diberlakukannya KUHP baru, yang menempatkan pidana mati sebagai pidana alternatif—bukan lagi hukuman pokok yang harus dijatuhkan.
Langkah ini menunjukkan perubahan paradigma besar: negara tetap menegakkan keadilan, namun tidak menghapus kemanusiaan dari proses hukum. / infopublik.id
BACA JUGA
