Royalti Lagu di Ruang Publik: Negara Harus Hadir Mengakhiri Polemik
BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com – Anggota Komisi X DPR RI, Ratih Megasari Singkarru, menegaskan bahwa polemik pemutaran lagu di ruang publik—mulai dari kafe, hotel, hingga pusat perbelanjaan—tidak boleh dipandang secara hitam-putih.
Persoalan ini, kata Ratih, menuntut asas keadilan yang tegas, baik bagi para pencipta karya maupun pelaku usaha. “Persoalan ini harus dipandang secara seimbang,” ujar Ratih
Ratih mengakui, musik di ruang publik bukan sekadar hiburan. Ia menjadi instrumen strategis untuk menarik pengunjung, membentuk atmosfer, dan bahkan menentukan citra sebuah usaha.
Namun di balik kenyamanan telinga pengunjung, ada keringat para pencipta lagu yang layak mendapat penghargaan berupa royalti.
“Maka wajar jika para pencipta karya memperoleh penghargaan dalam bentuk royalti,” tegasnya.
Meski demikian, Ratih mengkritisi praktik pungutan royalti yang kerap membebani pelaku usaha, terutama UMKM atau bisnis kecil yang masih merangkak mencari pasar. Di sinilah prinsip transparansi, proporsionalitas, dan akuntabilitas menjadi mutlak.
Menurutnya, akar masalah bukan sekadar soal nominal pungutan, tetapi pada kaburnya mekanisme dan lemahnya komunikasi antara lembaga pengelola hak cipta dan pengguna karya. Hal ini menciptakan ruang abu-abu yang memicu ketegangan, alih-alih kolaborasi.
“Pendekatan harus lebih pada edukasi, fasilitasi, dan pembangunan sistem yang adil dan akuntabel, bukan semata penegakan hukum yang kaku,” ujar Ratih.
Ratih memperingatkan, jika negara terus absen sebagai mediator, industri kreatif akan terjebak dalam tarik-menarik kepentingan yang justru merugikan kedua belah pihak—pencipta kehilangan haknya, pelaku usaha tercekik beban biaya.
“Negara harus hadir, memastikan ekosistem yang adil, sehat, dan saling menguntungkan. Tanpa itu, industri kreatif kita hanya akan menjadi medan konflik, bukan ruang tumbuh bersama,” pungkasnya. / DPR
BACA JUGA
