Royalti Musik untuk Kafe dan Restoran Tuai Pro-Kontra, Disparpora Balikpapan Fasilitasi Dialog

Kepala Disporapar Balikpapan Ratih Kusuma menyatakan pihaknya berkoordinasi intensif dengan semua cabang olahraga (cabor). Tujuannya untuk menyusun strategi dan memastikan kebutuhan teknis maupun non-teknis terpenuhi. (Foto: Samsul/Inibalikpapan.com)

BALIKPAPAN,Inibalikpapan.com – Kewajiban pembayaran royalti musik untuk kafe, restoran, dan tempat hiburan publik memicu diskusi hangat di kalangan pelaku usaha kuliner Kota Balikpapan.

Aturan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang secara tegas menyebutkan bahwa pemutaran musik di ruang publik termasuk di tempat makan, kafe, bar, dan pusat perbelanjaan dikategorikan sebagai kegiatan komersial.

Implikasinya, setiap pemilik usaha yang memutar lagu, baik melalui rekaman digital, streaming, radio, maupun pertunjukan langsung (live music), diwajibkan membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta. Dana royalti tersebut dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan disalurkan kepada para pencipta, penyanyi, dan produser rekaman.

Kekhawatiran Pelaku Usaha

Kebijakan ini langsung menimbulkan beragam reaksi. Sebagian pengusaha kafe dan restoran di Balikpapan mengaku khawatir biaya tambahan tersebut akan memberatkan, apalagi di tengah persaingan usaha yang semakin ketat dan harga bahan baku yang cenderung naik.

Beban biaya tambahan, menurut mereka, berpotensi memengaruhi harga jual menu. Jika biaya royalti dialihkan ke harga makanan dan minuman, mereka khawatir minat pengunjung akan berkurang. Bahkan, ada yang mempertimbangkan untuk tidak lagi memutar musik sama sekali, baik dari rekaman maupun live music, demi menghindari kewajiban tersebut.

“Kalau musik dihilangkan, suasana kafe pasti akan berbeda. Tapi kalau harus membayar royalti setiap bulan, itu jadi beban tambahan,” kata salah satu pemilik kafe di kawasan Balikpapan Kota yang enggan disebut namanya.

Respon Pemerintah Daerah

Menanggapi kekhawatiran ini, Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disparpora) Kota Balikpapan, Ratih Kusuma, mengatakan pihaknya memahami situasi yang dihadapi para pelaku usaha.

“Kami akan mengadakan pertemuan dengan pelaku usaha dan pihak terkait. Hasilnya akan kami sampaikan kepada Wali Kota untuk langkah selanjutnya,” ujarnya saat diwawancarai, Selasa (12/8/2025).

Ratih menyebut, pertemuan tersebut akan menghadirkan perwakilan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, LMKN, serta asosiasi pengusaha kuliner dan hiburan. Tujuannya, untuk mencari penjelasan detail terkait besaran royalti, mekanisme pembayaran, dan kemungkinan adanya skema keringanan bagi usaha kecil menengah (UKM).

“Kami akan mengawal hasil rapat tersebut dan membantu memperjuangkan kepentingan pelaku usaha. Harapannya, ada solusi yang adil, sehingga pelaku usaha tetap bisa menghadirkan hiburan bagi pengunjung tanpa mengorbankan keberlangsungan usahanya,” tambahnya.

Ramai di Media Sosial

Isu royalti musik ini tak hanya jadi bahan pembahasan di meja rapat, tetapi juga memicu perdebatan di media sosial. Sejumlah musisi lokal mendukung kebijakan ini karena dianggap memberi penghargaan layak bagi pencipta lagu dan performer. Namun, ada juga warganet yang menilai aturan ini perlu penyesuaian, khususnya dalam hal transparansi dan distribusi dana royalti.

“Bayar royalti itu wajar, tapi harus jelas uangnya sampai ke siapa, dan berapa yang benar-benar diterima musisi,” tulis salah satu komentar di sebuah forum musik.

Beberapa pengusaha juga meminta pemerintah memberikan sosialisasi lebih intensif. Menurut mereka, banyak pelaku usaha yang belum memahami prosedur pembayaran dan hak-hak mereka sebagai pihak yang menggunakan musik secara komersial.

Penegasan Pemerintah Pusat

Di sisi lain, Kementerian Hukum dan HAM menegaskan bahwa aturan ini berlaku tanpa terkecuali bagi semua pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik. Hal ini dianggap penting untuk melindungi hak ekonomi para pencipta lagu. Sekaligus mendorong iklim industri musik yang sehat.

Kementerian juga mengingatkan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban ini dapat dikenai sanksi, mulai dari peringatan tertulis, penutupan sementara kegiatan. Hingga tuntutan hukum perdata dan pidana sesuai ketentuan UU Hak Cipta.

Dengan adanya rencana fasilitasi dialog oleh Disparpora, pemerintah daerah berharap dapat menemukan titik temu yang menyeimbangkan kepentingan pelaku usaha dengan perlindungan hak cipta di sektor musik.

“Semoga dengan berdialog, aktivitas usaha dapat berjalan beriringan dengan penghargaan terhadap karya seni,” pungkas Ratih.***

Editor : Ramadani

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses