Sejak 2006 hingga 2025, Tercatat 45 Jaksa Terjerat Kasus Korupsi

Penindakan dan Eksekusi KPK tahan Kajari dan Kasi Intel Kejaksaan Negeri HSU di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (20/12/2025) dini hari. [Suara.com/Dea]
Penindakan dan Eksekusi KPK tahan Kajari dan Kasi Intel Kejaksaan Negeri HSU di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (20/12/2025) dini hari. [Suara.com/Dea]

JAKARTA, Inibalikpapan.com — Indonesia Corruption Watch (ICW) melontarkan kritik keras menyusul Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah jaksa di Banten dan Kalimantan Selatan (Kalsel).

ICW menilai rangkaian OTT tersebut justru menyingkap kegagalan serius reformasi internal Kejaksaan serta lemahnya keberanian KPK dalam menindak aparat penegak hukum (APH).

Berdasarkan pemantauan ICW sejak 2006 hingga 2025, tercatat 45 jaksa terjerat kasus korupsi, dengan 13 di antaranya ditangkap langsung oleh KPK.

Angka tersebut menunjukkan praktik korupsi di tubuh Kejaksaan bukan persoalan insidental, melainkan masalah struktural yang berulang.

ICW menyoroti periode kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin sejak 2019. Dalam kurun waktu tersebut, tujuh jaksa ditangkap karena kasus korupsi, yang menurut ICW menjadi indikator nyata gagalnya agenda reformasi Kejaksaan.

“Penangkapan jaksa yang terus berulang menunjukkan pembenahan internal Kejaksaan tidak berjalan efektif,” tegas ICW dalam pernyataannya.

ICW juga menyoroti potensi dualisme loyalitas di tubuh KPK, menyusul adanya pimpinan KPK yang berlatar belakang jaksa. Hal ini dinilai tampak ketika KPK memilih menyerahkan penanganan berkas perkara jaksa yang terjaring OTT kepada Kejaksaan Agung, padahal secara hukum KPK memiliki kewenangan penuh menangani kasus korupsi yang melibatkan penegak hukum.

ICW mengacu pada Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK, yang secara tegas memberi mandat kepada KPK untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. Penyerahan perkara ke Kejaksaan Agung dinilai berpotensi melemahkan proses penegakan hukum.

Selain itu, ICW mengingatkan bahwa minimnya transparansi dalam penanganan perkara korupsi sangat rawan membuka ruang praktik transaksional antara aparat penegak hukum dan tersangka.

Ketertutupan proses hukum dinilai dapat memicu pemerasan, kompromi ilegal, hingga upaya melemahkan atau menghentikan perkara.

“OTT seharusnya menjadi pintu masuk untuk pengembangan kasus yang lebih besar, bukan justru dilokalisir,” tegas ICW.

Penanganan kasus jaksa korupsi oleh Kejaksaan Agung juga dinilai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, sekaligus membuka peluang pembatasan perkara agar tidak merembet ke aktor lain yang terlibat.

Lebih jauh, ICW menilai maraknya jaksa yang tertangkap tangan menjadi bukti bahwa fungsi pengawasan internal Kejaksaan tidak berjalan optimal. Padahal, pengawasan internal merupakan benteng utama pencegahan penyimpangan kewenangan.

ICW juga menyinggung Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XXIII/2025, yang menegaskan bahwa jaksa yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana dapat langsung diproses hukum tanpa izin Jaksa Agung. Putusan ini, menurut ICW, secara normatif telah menutup ruang intervensi struktural pimpinan Kejaksaan.

“Dengan putusan MK tersebut, tidak ada lagi alasan hukum bagi KPK untuk ragu menindak jaksa yang diduga korupsi. Karena itu, pelimpahan perkara ke Kejaksaan Agung patut dipertanyakan dan berpotensi mencerminkan lemahnya peran serta keberanian KPK,” tegas ICW.

ICW menegaskan, OTT terhadap jaksa seharusnya menjadi momentum perbaikan menyeluruh, bukan sekadar penanganan kasus individual. Tanpa reformasi serius dan penegakan hukum yang transparan serta independen, pemberantasan korupsi di sektor penegak hukum dinilai hanya akan berputar di tempat. ***

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses