Telegram Panglima TNI Picu Kritik, Koalisi Masyarakat Sipil Nilai Bertentangan dengan Konstitusi

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid /suara.com
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid /suara.com

Jakarta, Inibalikpapan.com – Telegram Panglima TNI tertanggal 5 Mei 2025 terkait penempatan personel TNI ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia menuai kecaman luas dari kalangan masyarakat sipil.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyebut langkah ini sebagai bentuk intervensi militer terhadap institusi penegakan hukum sipil.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut kebijakan tersebut melanggar prinsip-prinsip dalam UUD 1945, serta bertentangan dengan sejumlah undang-undang penting seperti UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara, dan UU TNI yang secara eksplisit mengatur tugas pokok militer.

“Pengerahan personel TNI ke institusi kejaksaan merupakan bentuk penyimpangan yang serius. Ini membuka kembali ruang bagi dwifungsi TNI dalam ranah sipil,” tegas Usman dalam pernyataan resminya, dilansir dari suara.com jaringan inibalikpapan

Kritik Keras terhadap Potensi TNI Masuk ke Penegakan Hukum

Surat telegram yang memuat perintah untuk menyiapkan hingga satu peleton personel di tingkat Kejati dan satu regu di tingkat Kejari dinilai tidak proporsional. Usman menegaskan, tidak ada situasi darurat atau ancaman yang sah yang dapat membenarkan pengerahan militer ke institusi penegakan hukum sipil.

“Fungsi pengamanan di lingkungan kejaksaan bisa dilakukan oleh satuan pengamanan internal atau pengamanan sipil, bukan oleh militer bersenjata,” jelasnya.

BACA JUGA :

Menurutnya, kerangka kerja sama antara TNI dan Kejaksaan tidak memiliki dasar hukum yang kuat, dan Memorandum of Understanding (MoU) yang dijadikan rujukan tidak dapat mengesampingkan undang-undang yang lebih tinggi.

Koalisi menilai, langkah ini menjadi sinyal bahaya atas kembalinya dwifungsi TNI, terlebih setelah revisi UU TNI beberapa bulan lalu yang secara kontroversial memasukkan Kejaksaan Agung dalam struktur yang dapat menerima bantuan TNI. Usman mengingatkan bahwa berdasarkan risalah revisi, kehadiran TNI di Kejaksaan hanya berlaku untuk mendukung Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil), bukan untuk semua satuan Kejaksaan.

“Jika pengerahan dilakukan secara umum, ini telah melampaui ketentuan hukum yang berlaku dan mencampuradukkan fungsi pertahanan dengan penegakan hukum,” ujarnya.

Seruan untuk Mencabut Telegram Panglima TNI

Sebagai langkah konkret, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Panglima TNI untuk segera mencabut telegram tersebut dan mengembalikan fokus militer ke peran pertahanan negara sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Mereka juga menyerukan DPR RI, terutama Komisi I, III, dan XIII, untuk menjalankan fungsi pengawasannya dan menolak segala bentuk praktik militerisasi terhadap institusi sipil.

“Kami mendesak Presiden RI dan Menteri Pertahanan untuk menghentikan kebijakan ini. Penegakan hukum di negara demokrasi harus berada di tangan sipil, bukan militer,” pungkas Usman.

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses