Warga Karang Joang Dirugikan Proyek Tol IKN: Rumah Sudah Digusur, Uang Tak Bisa Dicairkan, Malah Dikejar Utang
BALIKPAPAN,Inibalikpapan.com – Di balik gegap gempita pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, ada cerita pilu dari warga yang merasa dikorbankan demi ambisi negara. Salah satunya dialami oleh Pipit Septiana (48), seorang warga yang memiliki rumah di kawasan Kilo 11 Kelurahan Karang Joang, Kota Balikpapan.
Rumah yang ia beli secara sah lewat skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) senilai total Rp330 juta sejak lima tahun silam, kini tinggal puing setelah digusur untuk proyek jalan penghubung menuju Jembatan Pulau Balang dan jalan Tol IKN.
Namun, yang membuat kisah ini begitu memilukan bukanlah hanya kehilangan tempat tinggal. Pipit kini tidak memiliki rumah, tidak menerima uang ganti rugi, malah dikejar utang yang membengkak oleh bank. Ia bahkan telah masuk daftar hitam sistem perbankan nasional oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Semua terjadi karena satu kebijakan yang menurutnya “tidak masuk akal dan merugikan rakyat kecil”.
Harga Tak Wajar, Tapi Diikhlaskan
Awalnya, perjuangan Pipit berawal saat mengetahui rumahnya akan digusur untuk pembangunan jalan tol. Ia tak menolak pembangunan, namun keberatan atas nilai ganti rugi yang jauh dari harga pasar. Rumah yang ia beli total seharga Rp330 juta dengan sistem KPR hanya dihargai Rp254 juta oleh tim appraisal.
“Saya sudah berjuang sampai pengadilan negeri (PN) Balikpapan tapi tetap kalah. Akhirnya saya ikhlaskan. Demi negara, demi pembangunan. Tapi saya tak menyangka, perjuangan saya justru baru dimulai setelah itu,” ujarnya kepada awak media, Senin (21/7/2025).
Dana sebesar Rp254 juta tersebut dititipkan di Pengadilan Negeri Balikpapan, menunggu proses pencairan. Namun di sinilah masalah sebenarnya muncul.
Syarat Pencairan: Lunasi Dulu KPR
Untuk mencairkan dana ganti rugi tersebut, Pipit diwajibkan melunasi terlebih dahulu sisa utang KPR-nya ke Bank BTN. Logika yang absurd, menurutnya. “Kalau saya punya uang cash Rp250 juta, untuk apa saya ambil KPR lima tahun lalu? Ini logika yang sangat zalim,” tegasnya.
Situasinya menjadi lebih tragis karena rumah yang menjadi objek kredit telah dihancurkan bahkan pihak bank tidak mengetahui jika rumah tersebut sudah dirobohkan. Dengan kata lain, Pipit diwajibkan membayar sisa utang untuk aset yang secara fisik sudah tidak ada, bahkan tidak lagi menjadi miliknya.
Utang Membengkak, Dikejar Denda dan Bunga
Tak sanggup membayar, Pipit memutuskan untuk berhenti mencicil KPR. Sebagai akibatnya, Bank BTN terus mengenakan bunga dan denda harian. Ia terakhir memeriksa jumlah tagihan dan menemukan bahwa utangnya telah mendekati angka Rp314 jutanyaris menyamai nilai rumah awal yang telah digusur negara.
“Saya tidak tahu lagi harus ke mana. Rumah sudah dihancurkan, uang tidak bisa dicairkan, dan saya tetap dikejar utang. Sistem ini gila. Tidak ada perlindungan sama sekali untuk rakyat,” kata Pipit dengan suara gemetar.
Kini, selain kehilangan rumah, Pipit juga tak bisa mengakses layanan keuangan karena telah diblokir dari sistem perbankan nasional akibat status kredit macet.
Laporan ke Instansi Negara: Jawaban Klise dan Dingin
Pipit telah mendatangi berbagai instansi untuk mencari solusi. Ia mengadu ke Kementerian PUPR, Badan Pertanahan Nasional (BPN), bahkan ke Pengadilan Negeri tempat dana dititipkan. Namun, semua memberikan jawaban yang sama: “Sesuai dengan Undang-Undang.”
“Undang-undang macam apa yang memaksa rakyat melunasi utang rumah yang sudah dihancurkan negara, lalu bilang ‘sudah sesuai prosedur’? Ini bukan keadilan, ini perampokan bersertifikat,” ujar Pipit penuh kecewa.
Ia menambahkan bahwa pendekatan aparat dan lembaga negara yang ia temui selama proses ini cenderung kaku, formalistik, dan jauh dari empati. “Tidak ada satu pun yang memperlakukan saya sebagai manusia yang sedang berjuang mempertahankan hidup,” ucapnya.
Kini Pipit berusaha melaporkan ke beberapa lembaga seperti Ombudsman Republik Indonesia, Komnas HAM, serta Kantor Staf Presiden (KSP) melalui kanal LAPOR! yang dikelola pemerintah pusat.
“Saya tidak anti-pembangunan. Tapi pembangunan seharusnya mensejahterakan rakyat, bukan membuat rakyat kehilangan semuanya,” tegas Pipit.
Sementara itu, saat dikonfirmasi media melalui Kepala Cabang BTN Kota Balikpapan Rachman mengaku, jika dirinya saat ini sudah pindah tugas.
“Silakan ke BTN Cabang balikpapan ya mas, saya sudah pindah mas, maaf saya nggak bisa kasih komentar,” singkatnya.
Disaat media mencoba meminta nomor Hp ke Kepala Cabang BTN Balikpapan yang baru yang bersangkutan enggan memberikan dengan berbagai alasan.
Hingga berita ini turun belum ada pihak dari BTN yang bisa memberikan tanggapan soal kasus ini.***
Penulis : Danny
Editor : Ramadani
BACA JUGA
