YLBHI Kecam Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto

Jaringan GUSDURian Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto / YLBHI

JAKARTA, Inibalikpapan.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam keras keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.

YLBHI menilai keputusan tersebut bukan hanya tidak etis, tetapi juga bertentangan dengan hukum, sejarah, dan nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan sejak Reformasi 1998.

Dalam pernyataan sikap resminya, YLBHI menegaskan bahwa pemberian gelar ini “semakin membuktikan bahwa pemerintahan Prabowo nir etika, merusak hukum dan hak asasi manusia, tak peduli dengan anti korupsi, serta merendahkan nilai-nilai kepahlawanan”.

YLBHI menyebut pemberian gelar tersebut sudah diprediksi akan dipaksakan, meski penuh benturan kepentingan (conflict of interest). Menurut lembaga ini, langkah tersebut merupakan pengkhianatan terhadap para korban pelanggaran HAM serta upaya berbahaya mengaburkan sejarah bagi generasi muda.

“Gelar Pahlawan semestinya diberikan kepada tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan. Bukan kepada pemimpin yang masa pemerintahannya diwarnai otoritarianisme dan pelanggaran HAM,” tegas YLBHI, dalam pernyataan tertulisnya

Keputusan Bertentangan dengan Hukum dan HAM

YLBHI memaparkan sedikitnya empat dasar hukum dan putusan negara yang justru menguatkan bahwa Soeharto tak layak menerima gelar Pahlawan Nasional:

1. Keppres Nomor 17 Tahun 2022: Negara Akui Pelanggaran HAM Berat

Keputusan Presiden tahun 2022 mengakui berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang banyak terjadi pada era Orde Baru, di antaranya:

  • Peristiwa 1965–1966
  • Penembakan Misterius (1982–1985)
  • Talangsari Lampung (1989)
  • Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh (1989)
  • Penghilangan Orang Secara Paksa (1997–1998)
  • Kerusuhan Mei 1998
  • Trisakti dan Semanggi I (1998)

YLBHI menyebut Soeharto sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berbagai peristiwa tersebut.

2. TAP MPR X/1998

Ketetapan ini menegaskan bahwa pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun penuh penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, dan pengabaian rasa keadilan.

3. TAP MPR XI/1998

TAP ini menyatakan bahwa pemerintahan Soeharto sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

4. Putusan Mahkamah Agung 2015

Putusan MA No. 140 PK/Pdt/2015 menyatakan Soeharto dan Yayasan Supersemar melakukan perbuatan melawan hukum, dan mewajibkan membayar kerugian negara senilai lebih dari Rp4,4 triliun.

Dampak Pelanggaran Bukan Hanya Ekonomi dan Politik

YLBHI menyoroti bahwa yayasan-yayasan milik Soeharto bukan hanya menghasilkan praktik korupsi, tetapi juga menyebabkan kerusakan struktural seperti:

  • monopoli impor terigu yang berdampak pada gizi buruk dan ketergantungan mie instan,
  • perampasan tanah melalui konsesi hutan dan perkebunan,
  • penggunaan Yayasan Seroja dalam praktik penghilangan identitas anak-anak Timor Leste saat pendudukan.

YLBHI menegaskan bahwa langkah Presiden Prabowo memberikan gelar Pahlawan kepada Soeharto adalah bentuk pengkhianatan terhadap UUD 1945, nilai-nilai Reformasi, sekaligus bentuk ketidakpedulian terhadap korban pelanggaran HAM dan rakyat Indonesia.

“Keputusan ini menunjukkan bahwa rezim Prabowo semakin masuk dalam pemerintahan yang mengkhianati konstitusi, menyakiti rakyat, dan melakukan tindakan-tindakan tercela,” tulis YLBHI.

Keputusan ini diperkirakan akan memicu polemik panjang, terutama di tengah meningkatnya sorotan publik terhadap rekam jejak Orde Baru, penuntasan pelanggaran HAM berat, serta arah pemerintahan baru. ***

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses