BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com – Orang Jogja yang merantau dan akhirnya menetap di Kota Balikpapan, kira-kira mencari warung apa ya? Jawabannya bisa gudeg, sayur lodeh, brongkos, lotek, sate klatak, sampai angkringan. Untuk yang terakhir ini, pertumbuhan jumlah warungnya paling pesat.

“Belum ada warung yang benar-benar persis menyajikan menu khas Jogja secara rasa dan tampilan. Tapi kalau yang mendekati ke arah sana, ya, ada. Yang paling sering kami tuju akhir-akhir ini adalah angkringan,” ujar Atha Nalurita, Jumat (38) malam kemarin.

Bisa dibilang, butuh waktu lama bagi Atha, juga suaminya, Adi Prasetya untuk kembali “ngangkring”.  Angkringan pertama di Balikpapan yang didatangi berlokasi di Jalan Marsma Iswahyudi Sepinggan, pertengahan 2012. Yang jualan, orang Klaten (Jateng).

“Lalu angkringan di (halaman kantor) Inhutani—Jl Sudirman. Selanjutnya mencoba beberapa angkringan, di Jalan Soekarno Hatta, Gunung Malang, Jalan Manunggal, Jalan MT Haryono, sampai Jalan Syarifuddin Yoes,” kata Atha, penjahit baju yang tinggal di Cluster Berau, Wika, ini.

Namun satu demi satu, sebagian angkringan itu tutup. Angkringan yang paling sering di datangi, yakni di Jalan MT Haryono, ikut menyusul. Sempat berkelana dari satu angkringan ke angkringan lain, mereka akhirnya malas ngangkring.

“Sebabnya sih, ya karena minuman tehnya kurang mantap. Menunya juga tidak lagi menu angkringan, juga tidak bercitarasa Jogja. Lebih terkesan warung makan dengan penanda gerobak di depannya. Tahun 2016 sepertinya kami stop ngangkring,” kata Adi.

Memang satu-dua kali masih ngangkring, tapi lebih karena diajak ketemuan sama teman. Tidak pernah sengaja berencana ke angkringan. Ia tak lagi berharap pada enaknya teh di angkringan. Kalau ke angkringan, ia seperti “asal pesan menu”.

“Paling gorengan, dan minumnya kopi. Sesekali nasi kucing. Sebenarnya tidak semua menu itu tidak enak. Ada juga yang lumayan enak, tapi tersebar. Misalnya angkringan A, menu nasinya enak. Angkringan B, tahu gorengnya enak. Angkringan C, bebakarannya enak,” ujarnya.

Namun belum ada angkringan yang semua, atau sebagian besar menunya memenuhii ekspekstasi secara citarasa Jogja. Sampai kemudian, tahun 2020 lalu, ia penasaran dengan warung angkringan di Jalan Pattimura. Lokasinya satu km dari Terminal Batu Ampar. Angkringan Raden, namanya.

“Sebenarnya sih sudah beberapa kali ke sana. Mungkin sejak 1-2 tahun sebelumnya.Tapi seringnya malam, di atas jam 22.00 wita. Di mana menu sudah hampir habis dan paling menyisakan gorengan dan teh. Tapi itu cukup, lah, untuk teman ngobrol sama teman,” ucapnya.

Lama-lama ia pun penasaran dengan menu lain, dan iseng datang lebih pagi. Dalam arti jam 19,00 wita, begitu warung dibuka. Ketemulah ia dengan menu lain, seperti tempe tahu bacem, nasi kucing, tempe goreng tepung ala mendoan, ceker, bakwan (ote-ote), soto, sampai mi goreng.

“Sebenarnya, beberapa menu, seperti soto dan mi goreng , bukan menu asli angkringan. Namun karena menu bercitarasa Jogja yang kuat manisnya, saya rasa angkringan ini beda. Maka, mulai awal 2020, sering ke sini,” kata Adi.

Menu angkringan Raden, menurut Adi, cukup “serius”. Mi goreng nyemek ala Jogja di sana, misalnya, benar-benar citarasa Jogja. Juga lauk yang menenami sego (nasi) kucing. Bahkan, di sana ada varian menu ayam bakar—yang tentu saja bercitarasa Jogja.

“Sering kemari karena kebetulan lokasinya dekat dengan rumah. Selepas capek menjahit baju sehari, enggak butuh waktu lama untuk sampai. Paling hanya 2 km dari rumah. Hampir semua menu di sini saya suka. Akhir-akhir ini banyak pesan mendoan basah. Nanti dibikinkan dengan tambahan sambal kecap plus irisan bawang merah,” kata Atha.

Lho, memang ada tempe ala mendoan (basah) di angkringan Raden? Ternyata ada. Gorengan tempe di sana biasanya goreng kering. Menurut Pak Raden, pemilik angkringan itu, pelanggannya rata-rata memang senang tempe ala mendoan goreng kering. 

Menu lain yang “menawan” di sana adalah ceker maut dan ote-ote edan. Ngeri ya namanya. Cekernya itu maut karena pedasnya lumayan menyengat. Sementara ote-otenya “edan” karena banyak bejibun sayuran, selain rasanya mantap.

“Sepertinya bakwan (ote-ote) terenak yang saya temui di angkringan. Juga mi Jowo-nya, paling Jogja. Enaknya lagi, bisa request. Misalnya saya kalau pesen mi goreng, minta tambahan irisan daun seledri. Pesen teh, kalau kurang sepet, tinggal bilang,” kata Adi.

Adi memang lekat dengan angkringan karena sudah mulai ngangkring sejak SMP, alias 30 tahun silam. Semakin akrab sejak ia kuliah. Maklum angkringan identik harga murah. Adi juga pernah ke kampung asal angkringan, di Bayat, Klaten, tahun 2004 lalu. 

“Angkringan sekarang menyesuaikan keinginan masyarakat. Dulu, menu semacam soto, ayam goreng, bakmi Jowo, jelas tidak ada di angkringan. Apalagi minuman sachetan. Dulu orang milih angkrisngan, utamanya karena tehnya enak,” katanya.

Ada faktor di belakang cocoknya menu angkringan ini dibanding tempat lain. Ternyata Pak Raden dulunya koki di salah satu hotel di Balikpapan, dan ia kelahiran Jogja. Wah, pantesan. Ia buka angkringan tujuh tahun lalu. Warungnya buka setiap hari—kecuali Selasa karena libur—selepas jam 18.00. Pak Raden dibantu istrinya berjualan.

Sepuluh tahun lalu, baru ada beberapa angkringan di Balikpapan. Mungkin tidak lebih 10. Tapi sekarang, menurut Adi, mungkin ada 100 lebih angkringan dari ujung ke ujung. “Tiap warung punya segmen pasar beda. Ada yang gaul, banyak anak muda ke sana. Kalau yang ke Angkringan Raden ini, sepertinya yang beneran kangen nuansa angkringan,” ujar dia.

Memang, tentang rasa adalah soal selera. Bisa saja ada orang yang tidak cocok dengan menu angkringan yang satu, tapi cocok menu angkringan lain. “Tapi mungkin orang Jogja, dan sekitar Jogja, sepertinya cocok menu di sini. Beberapa teman sudah saya ajak, dan mereka cocok,” kata Adi.  Ah menyenangkan ya ada Jogja di angkringan Raden Balikpapan. (Adi Prasetya)

Comments

comments

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Exit mobile version