Top Header Ad
Top Header Ad

Gunung Bahagia: Cerita Tentang Sampah, Harapan, dan Warga yang Tidak Menyerah

Pemilahan sampah di MRF Gunung Bahagia Kecamatan Balikpapan Selatan

Oleh : Ramadani

JAM baru menunjukkan pukul 07.30 WITA saat roda gerobak tua berdecit pelan menyusuri gang sempit di Kelurahan Gunung Bahagia, Balikpapan Selatan. Langkah kaki terdengar beradu dengan tanah basah pagi itu. Di sudut gang, seorang ibu terlihat sibuk. Di tangannya ada botol plastik dan sayur layu sisa dapur bukan untuk dibuang, tapi dipilah. Ditaruh rapi dalam dua kantong berbeda.

“Yang ini plastik, yang itu organik,” katanya pelan sambil tersenyum pada anaknya yang menatap penasaran.

Di sini, sampah bukan lagi barang kotor yang hanya dibuang lalu dilupakan. Sampah adalah simbol perubahan. Di tangan warga Gunung Bahagia, ia bisa menjadi tabungan, jadi alat edukasi, bahkan jadi perekat sosial. Semua bermula dari sebuah kepercayaan kecil, yang tumbuh dari kerja keras selama bertahun-tahun.

Dulu Dibilang Repot, Sekarang Jadi Rebutan

Edy Sutisno masih ingat betul masa awal program ini berjalan. Ia, Ketua RT 28 Gunung Bahagia, pernah jadi bahan protes warga karena mendorong pemilahan sampah.

“Dulu sering saya dengar, ‘Ngapain dipilah, Pak Edy? Kan dibuang juga ke tempat sampah yang sama,’” katanya mengenang masa-masa penuh penolakan itu.

Namun Edy tak menyerah. Bersama kader lingkungan, ia mengetuk satu per satu pintu rumah, menjelaskan manfaat, membagi pengalaman, dan menebar harapan. Di posyandu, di pengajian, di rapat RT—semua dimanfaatkan untuk menyampaikan satu hal: perubahan dimulai dari rumah.

Dan kini, hal itu benar-benar terjadi.

“Warga malah sekarang semangat. Kalau telat, mereka sendiri yang dorong karung ke titik kumpul,” ujar Edy dengan wajah berbinar.

Di Balik Kardus dan Botol Plastik, Ada Roda Ekonomi yang Berputar

Di pusat pengelolaan MRF (Material Recovery Facility) Gunung Bahagia, pemandangan yang dulu dianggap ‘jorok’ kini berubah menjadi organisasi yang nyaris otomatis. Kardus, plastik, logam semua ditata, ditimbang, dan dicatat.

Setiap hari, rata-rata 4 ton sampah kering masuk ke fasilitas ini. Dan dari tumpukan itu, mengalir uang antara Rp250 juta hingga Rp300 juta per bulan, tergantung harga pasar.

“Semua transparan. Penjualannya bisa Rp8 sampai Rp10 juta per bulan, masuk ke sistem. Tidak ada yang bocor,” kata Rasman, sang Supervisor MRF yang sudah sembilan tahun membina program ini.

Ia berbicara bukan dengan nada bisnis, tapi dengan nada harapan. Karena bagi Rasman dan timnya, sampah bukan cuma soal pengelolaan, tapi soal masa depan yang sedang mereka bangun bersama.

Anak-anak yang Tumbuh Bersama Kesadaran

Ketua RT 45, Endang Winarni, sering melihat pemandangan yang membuat hatinya hangat: anak-anak membantu ibunya memilah sampah. Mereka tahu mana plastik, mana organik. Mana yang bisa disetor, mana yang harus dikomposkan.

“Ini bukan cuma kebiasaan baru. Ini investasi perilaku untuk generasi berikutnya,” ujar Endang.

Idrus Rachman, Ketua RT 34, ikut merasakan dampaknya. Bukan hanya soal sampah, tapi perubahan cara warga bersosialisasi.

“Dulu sampah itu jadi bahan ribut antarwarga. Sekarang malah jadi bahan ngobrol, ‘Eh, kamu udah kumpulin botol belum?’” katanya sambil tertawa.

Tak Sempurna, Tapi Tak Pernah Menyerah

Tentu, tak semuanya mulus. Mesin pemilah yang mulai tua, tenaga kerja yang harus dibagi, wilayah yang belum disiplin dalam penyetoran—itu semua jadi tantangan sehari-hari. Tapi bagi Rasman, semua itu hanya bagian dari proses.

“Kita baru sembilan tahun. Jepang butuh 50 tahun. Tapi saya yakin kita bisa sampai sana, bahkan lebih baik,” ucapnya penuh percaya diri.

Ia tahu bahwa perjuangan ini bukan milik pemerintah semata. Ini tentang warga yang mau bergerak, tentang semangat kolektif yang lahir dari kesadaran bersama: bahwa lingkungan bukan warisan, tapi titipan.

Sampah yang Menjadi Simbol Harapan

Kini, Gunung Bahagia bukan hanya nama kelurahan. Ia menjelma jadi lambang perubahan. Bukan karena teknologinya canggih atau dananya besar, tapi karena warganya punya tekad.

“Kami ingin kelurahan ini dikenal bukan hanya karena bersih, tapi karena kesadarannya. Sampah itu soal pilihan. Mau dijadikan masalah, atau dijadikan berkah,” ucap Edy menutup obrolan pagi itu.

Dan dari setiap botol yang dikumpulkan, dari setiap kardus yang dirapikan, warga Gunung Bahagia tengah menyusun sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar daur ulang—mereka sedang menyusun masa depan: masa depan kota yang lebih bersih, lebih sadar, dan lebih peduli. ***

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses