BALIKPAPAN,Inibalilkpapan.com – Peningkatan kepekaan gender dalam jurnalisme di Indonesia masih kurang signifikan. Salah satu indikatornya terdapat pada beberapa judul pemberitaan media di Indonesia.

Kurangnya sensitifitas gender  seringkali menyebabkan materi pemberitaan sudah dianggap benar begitu saja. Tidak dapat dipungkiri jika hegemoni media pemberitaan di Indonesia masih dilatarbelakangi oleh faktor ideologis tertentu.

Aktivis perempuan sekaligus pemimpin redaksi Magdalene, Devi Asmarani, mengatakan, media di Indonesia masih bias gender saat melakukan kerja jurnalistik

Menurut Devi, ada beberapa faktor yang mengakibatkan bias gender dalam pemberitaan media di Indonesia. Di antaranya, yaitu budaya patriarki yang ada di Indonesia dan kurangnya database narasumber perempuan di redaksi media di Indonesia.

“Jadi, terkadang narasumber yang memiliki kompetensi sama karena dia perempuan kurang dilirik. Kedua mungkin ada budaya di newsroom yang terbiasa supaya cepat, akhirnya narasumbernya itu-itu saja,” tutur Devi.

Kata Devi, Media memiliki peran “cermin” yang penting tidak hanya untuk menginformasikan apa yang terjadi dalam masyarakat. Namun, juga untuk menyorot berbagai praktik dan tradisi yang berbahaya dan merugikan kelompok tertentu, sekaligus mengubah norma untuk berkontribusi pada masyarakat yang lebih baik, lebih adil dan lebih sejahtera atau peran “membentuk”.

“Namun dalam hal mendorong tercapainya kesetaraan gender, banyak media di Indonesia yang belum memiliki perspektif gender yang kuat, yang tercermin dalam liputan yang masih bersifat maskulin, bahkan masih mengobjektifikasi perempuan,” kata Devi.

“Dengan hanya memainkan peran “cermin” dapat menguatkan persepsi usang tentang gender dan norma gender yang menempatkan perempuan dalam posisi lebih rendah, bahkan menormalisasi diskriminasi dan kekerasan berbasis gender,” jelasnya.

Kata Devi, Jurnalisme Konstruktif bertujuan dan berkontribusi kepada demokrasi melalui jurnalisme konstruktif yang kritis, jurnalisme konstruktif sendiri merupakan metode baru untuk meliput berita. Ini berangkat dari gagasan bahwa terlalu banyak bias negatif, sensasionalisme, dan pemberitaan yang berorientasi pada konflik melulu. 

Alih-alih menekankan dunia sedang tak baik-baik saja, jurnalisme konstruktif hadir untuk memberikan gambaran yang lebih adil, akurat, dan kontekstual kepada khalayak. 

Salah satu alasan kuat kenapa jurnalisme konstruktif harus ada adalah, karena mayoritas berita kini hanya membuat khalayak putus asa dan cenderung pasif. 

“Jika kamu bertanya kepada orang-orang bagaimana kabar dunia hari ini, banyak dari mereka berpikir dunia cuma tempat yang buruk dan kejam,” ujarnya.

Comments

comments

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Exit mobile version