JAKARTA, Inibalikpapan.com –  Kasus kekerasan digital kini mengancam jurnalis dari sekelompok orang yang tidak menyukai karya mereka. Melakukan perlawanan di media sosial dan mendelegitimasi karya jurnalistik sebagai hoaks.

“Tak hanya ‘kekerasan digital’ dan sentimen, jurnalis di Indonesia juga mulai mendapat serangan yang bersifat struktural,” ujar Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani, dalam diskusi webinar bertajuk “Memperkuat Legitimasi Jurnalis Saat Pandemi” pada Jumat (26/06).

Berdasarkan data AJI Jakarta, kekerasan digital mulai terjadi pada sejumlah jurnalis di Jakarta sejak 2018. Hal ini bermula pada jurnalis Detik.com. Ia tak hanya mengalami doxing, tapi juga mendapatkan ancaman pembunuhan.

“Kasus ini sudah diproses oleh Komite Keselamatan Jurnalis, di mana Dewan Pers dan sejumlah organisasi jurnalis ada di dalamnya, namun pelaku pengancaman tak diketahui hingga kini,” beber Asnil.

Pada tahun yang sama, terjadi persekusi yang dilakukan oleh kelompok keagamaan tertentu terhadap jurnalis Kumparan.com. Persekusi ini terjadi karena Kumparan tidak mencantumkan gelar ‘habib’ pada nama Rizieq Shihab.

“Perlakuan ini menciderai profesi teman-teman yang memverifikasi, mengonfirmasi fakta di lapangan yang lantas mendapatkan label kafir, hanya karena tidak mencantum gelar habib,” Asnil menambahkan.

Jurnalis CNNIndonesia.com juga pernah endapatkan perlakuan serupa karena menulis artikel tentang Amien Rais yang menyatakan Tuhan malu kalau tak kabulkan adanya pergantian presiden.

“Terlepas dari masalah content yang mengandung perdebatan, yang menjadi masalah adalah teman ini di-doxing. Padahal, ada mekanisme hak jawab, somasi dan penyelesaian sengketa di Dewan Pers,” tegas Asnil.

Pada 2019 kekerasan digital terhadap jurnalis mulai bergeser melalui teror psikologis yang membuat jurnalis tak bisa menjalankan tugasnya sebagai penyampai berita. Hal ini dialami oleh salah seorang wartawan Aljazeera saat meliput di Papua.

Tentu ini menjadi persoalan serius, karena jurnalis menjadi tak berani beraktivitas karena dibayang-bayangi ancaman. Awal Januari 2020, jurnalis Kompas.com mengalami doxing karena menulis artikel tentang gubernur rasa presiden.

“Data-data pribadi wartawan ini bahkan diumbar di media sosial,” ungkap Asnil.

Kata dia, doxing terhadap jurnalis ini dilakukan secara sistemik dan sistematis. Dilakukan kelompok yang terorganisir, bukan oleh individu.

Kasus terbaru adalah apa yang menimpa jurnalis Detik.com mengalami doxing usai menulis berita soal Presiden Jokowi yang akan membuka mal di Bekasi. Ia mendapatkan ancaman pembunuhan. Sebelumnya, ia bahkan diteror dengan sejumlah makanan yang dikirimkan ke rumahnya melalui aplikasi ojek online.

Asnil meminta pihak-pihak yang merasa terganggu atau tidak puas dengan pemberitaan media, agar menempuh jalur-jalur yang telah diatur sesuai dengan Undang-Undang Pers. Misalnya, melalui hak jawab, somasi atau mediasi di Dewan Pers.

Penyelesaian sengketa jurnalistik bukan melalui media sosial atau dengan mengancam wartawan, tapi melalui saluran yang legal. Penyelesaian sengketa melalui media sosial atau doxing adalah penyelesaian yang tidak sehat.

Peneliti Remotivi Roy Thaniago menuturkan, kasus doxing jurnalis Detik.com yang menulis soal pembukaan mal di Bekasi, adalah satu contoh bagaimana kelompok anti media mendeligitimasi media. Dengan begitu, mereka ingin informasi didominasi oleh negara. Padahal, cara-cara ini merusak demokrasi.

Oleh sebab itu, dia menegaskan, saat ini yang diperlukan adalah mengembalikan kepercayaan publik pada jurnalisme. Ketika kepercayaan pada jurnalisme memudar, maka kepercayaan publik akan runtuh.

“Inilah yang perlu dilakukan sekarang. Mengembalikan kepercayaan publik pada jurnalisme agar sentimen antimedia tidak berkembang dan membesar. Media hendaknya memperlihatkan diri bahwa mereka layak dipercaya dan didukung dalam demokrasi,” tandasnya.

 

 

Comments

comments

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Exit mobile version