6 Kebiasaan Buruk Anak Yang Wajib Jadi Koreksi Orang Tua


Inibalikpapan.com – Cara mendidik anak tidak mudah, terutama anak di era modern yang memiliki kebiasaan karena pengaruh digitalisasi dimana kebiasaan buruk anak terkesan hal yang ‘normal’
Para pakar psikologi anak dari AS mengatakan bahwa anak mengalami perubahan untuk menemukan jati dirinya.
Karena itu, orang tua tak boleh mengabaikan perubahan tersebut demi tumbuh kembang positif.
Namun, mencari tahu perilaku apa saja yang sebenarnya bisa jadi sulit karena Anda tidak ingin mengoreksi setiap kesalahan.
Tetapi Anda juga ingin memastikan anak berada di jalur yang tepat. Jadi, apa yang perlu orang tua waspadai?
Kekerasan Fisik dan Perundungan
“Jika perilaku seorang anak membahayakan orang lain dengan kekerasan fisik, orang tua tak boleh abai,” kata Dr. Rachel Goldman seorang pakar psikolog dari New York Times.
Ia katakan saat seorang anak memukul seseorang, jangan anggap ‘hanya anak kecil,.
Pasalnya, tindakan tersebut mengajarkan mereka bahwa agresi adalah cara wajar untuk memecahkan masalah.
Tetapi, orang tua perlu ajarkan bagaimana menggunakan kata-kata dan bukan kekerasan untuk mengekspresikan rasa frustrasi.
Hal tersebut akan berujung pada perundungna.
“Baik itu pengucilan yang halus atau intimidasi yang terang-terangan, semua jenis perundungan tidak boleh dianggap remeh,” kata Goldman. “Anak-anak yang menindas orang lain sering kali memiliki masalah yang mendasarinya.”
Ia lanjutkan orang tua serta kakek-nenek yang turun tangan sejak dini dapat membantu menghentikan siklus tersebut sebelum kondisi menjadi parah.
Memanggil Nama Teman Lain Dengan Sebutan Kasar
Kata-kata kasar atau julukan kepada teman seperti hinaan sangat tak dapat ditolerir. “Jika seorang anak memaki orang lain, itu pertanda bahwa mereka butuh bantuan untuk memahami empati,” kata Dr. Caroline Danda seorang ahli psikologi anak dari University of Kansas.
Ia katakan ketika orang tua atau kakek nenek mengabaikan perilaku tersebut, hal itu berisiko membuat mereka berpikir bahwa hal tersebut wajar.
Sering Tantrum
Tantrum pada anak mungkin pernah terjadi tetapi jangan sampai terlalu sering, apalagi di depan umum.
Para ahli mengungkapkan bahwa jika hal ini terus berlanjut maka mereka akan terus melakukannya hingga dewaa.
“Kemarahan wajar terjadi pada balita, tetapi pada anak-anak yang lebih besar, kemarahan sering kali merupakan tanda emosi yang tidak terkendali atau kebutuhan yang tidak terpenuhi,” dan Dr. Caitlin Slavens seorang pakar psikolog di Califormia. “Mengabaikan momen-momen ini tidak membantu mereka belajar cara mengelola perasaan.”
Slavens katakan tantrum muncul saat anak-anak atau remaja) mengalami emosi yang sangat kuat dan tidak mampu mengomunikasikan masalah mereka secara efektif.
Tetapi, orang tua pun perlu menanggapi dengan bijak.
“Setelah memvalidasi perasaan dan kebutuhan, berikan ruang dan waktu untuk menenangkan diri sebelum melanjutkan atau memecahkan masalah,”katanya.
Mengabaikan Batasan
Orang tua atau kakek dan nenek mungkin sadar anak atau cucu kerap melanggar peraturan dimana hal ini bisa jadi kebiasaan buruk.
Slavens sarankan ortu atau kakek dan nenek untuk angkat bicara daripada terus-menerus memberi mereka kesempatan kedua atau mengabaikan apa yang telah mereka lakukan.
“Ketika anak-anak berulang kali mengabaikan batasan, mereka menguji apa yang bisa mereka lakukan,” jelasnya. “Menerapkan batasan secara konsisten mengajarkan mereka disiplin diri dan membantu mereka merasa aman, bahkan jika mereka menggerutu karenanya.”
Menyakiti Hewan
Orang tua sering hanya melarang kekerasan atau perundungan terhadap anak lain.
Tetapi sebenarnya, perilaku anak memperlakukan dan berinteraksi dengan hewan, seperti hewan peliharaan dan satwa liar juga berpengaruh pada psikologi mreka.
“Setiap perlakuan buruk terhadap hewan adalah tanda bahaya bagi perjuangan emosional yang lebih mendalam atau kurangnya empati dan hal ini tidak boleh diabaikan,” ungkap Slavens.
Mengisolasi Diri Berlebihan
Memang anak-anak mungkin ingin waktu untuk sendiri.
Tetapi para ahli mengatakan orang tua atau kakek-nenek perlu turun tangan jika anak mengisolasi diri secara berlebihan.
“Anak-anak yang lebih besar biasanya senang menyendiri. Tetapi jika mereka terus-menerus menjauh dari keluarga dan teman-temannya, hal ini mungkin menandakan perasaan depresi,” kata Slavens. “Buka pintu komunikasi dengan rasa ingin tahu dan bukan menghakimi supaya anak mau bercerita sehingga orang tua berikan dukungan.”
Terlebih jika anak pernah terucap ingin mengakhiri hidup.
Orang tua perlu menanggapinya dengan serius.
Kesimpulan
Komunikasi tanpa menghakimi adalah cara terbaik orang tua untuk mengatasi masalah pada anak. Dengan demikian, mereak mau terbuka pada orang tua dan tidak curhat kepada teman, apalagi media sosial.
“Ketika orang tua mengoreksi perilaku anak, mereka juga mengajari anak tersebut cara membuat pilihan yang lebih baik secara mandiri,” ungkap Goldman. “Anak-anak akan memperoleh manfaat dari hal itu dan mulai mengembangkan keterampilan memecahkan masalah.
Pasalnya, anak mulai memahami bahwa tindakan memiliki konsekuensi, dan mereka memiliki pilihan yang akan menghasilkan konsekuensi berbeda.
BACA JUGA