BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com – Serikat Pekerja Mathilda Pertamina Kalimantan menilai pembentukan subholding yang sudah berjalan sejak 2020, kondisi tidak semakin baik karena mekanisme pasar lebih besar berperan.
Ketua SP Mathilda Kalimantan Mugiyanto mengatakan bisnis inti Pertamina saat sudah tidak ada lagi. Dahulu Pertamina dikenal menguasai hajat hidup disektor migas dari hulu hingga hilir.
“Itu bisnis inti ya sekarang nggak ada. Sekarang jadi subholding punya entitas sendiri. Pertamina persero statusnya sebagai perusahaan portofolio saja, usahanya operasional diserahkan subholding. Ada enam subholding,” katanya seminar mengenai Kilas Balik Pembentukan Sub Holding Pertamina dalam rangka HUT SP Mathilda ke 21, di gedung Banua Patra, Sabtu (23/7/2022).
Sehingga berimplikasi pada peran Pertamina sebagai kepanjangan negara, menjadi terdegradasi. “tidak bisa lagi dalam pengelolaan energi dan ini berdampak pada ketersedian energi. Karena subholding ini akan mencari keuntungan masing-masing sehingga Perpres 91 tahun 2014 mengatur distribusi harga BBM itu tidak bisa diberlakukan. Karena subholding ini statusnya perusahaan swasta,” katanya.
Pihaknya melihat ada misi tersendiri dari kementerian BUMN. Karena itu dalam seminar SP Mathilda juga mengundang Direktur Keuangan Pertamina. “Kita ingin transparan, golnya apa? Ini sudah dua tahun sejak 2020 ini sudah bergulir kita akan evalusi dan ternyata dampaknya tidak semakin baik,” ujarnya.
Seperti harga BBM tidak terkendali baik, karena diserahkan mekanisme pasar. “pertanyaan siapa yang diuntungkan?apakah ini untuk perkuat BUMN saya rasa tidak. Apakah ini ada pesanan oligarki. Itu tanda tanya besar,” katanya.
Pengamat Ekonomi/ Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy menilai pembentukan subholding yang dilakukan Kementerian BUMN merupakan model liberasasi. Ada dua pendekatan liberalisasi yakni kelembagaan dan keuangan.
“Asal muasal pada pendekatan komoditas/sektor. Lalu itu tidak cukup ternyata BUMN-BUMN itu tetap menguasai contah tadi Pertamina masih kuasai SPBU. Bagi mereka melawan market leader SPBU ini berat. Nah kemudian masuk pada kelembagaan dan keuangan tujuan tetap sama yakni liberalisasi,” jelas Noorsyi saat menjadi salah seorang pembicara.
Lebih dalam Noorsy mengupas melihat pada program liberaliasi cocok dengan program deregulasi dan debirokrasi seperti yang disampaikan Presiden. Termasuk penyataan dibulan Februari 20216 silam “selamat tinggal hambatan investasi” karena berbagai sektor diliberalkan.
“Tapi apakah liberalisasi dibenarkan di konstitusional? Terjemahan ada di MK. MK sejak awal sesungguhnya tidak punya sikap tegas walaupun UU nomor 22 tahun 2021 (tentang Migas) sudah 3 kali gugat 3 kali pemecahan masalahnya beda-beda. Jadi pemecahan inti masalahnya adalah penempatan energi apakah sebagai hajat hidup orang banyak atau sebagai comercial goods?. Sampai saat ini ketika saya jadi saksi ahli UU BUMN di MK tidak berani memutuskan apakah energi itu comersial good atau publik goods,” ulasnya.
Lanjut Noorsy jika menilik UUD 45 energi itu masuk hajat hidup orang banyak namun jika pakai penjelasan Pertamina, energi itu masuk dalam barang komersial.
“kenapa?karena MK sendiri dalam pengalaman saya MK itu tidak memutuskan energi itu komersial goods atau publik goods. Itu problemanya,” tandasnya.
Holdinasasi kacamata Noorsy memuluskan program liiberasi sektor energi yang tidak hanya dialami Pertamina. Tapi sudah dialami lain.
“Yang mendesak akan dilakukan setelah Pertamina adalah PLN. Akan seperti itu, lalu dijual diprivitasi di IPO kan. Probelemnya pada keuangan. Tapi saya berpendapat berbeda,” ucapnya.
Noorsy mengakui dia pernah gagas pembentukan holding saat menjadi anggota DPR tahun 1998 -2001. Tapi tidak holding dalam rangka penilaian pasar akan korporasi.
“Penilaian harga pasar perusahaan tidak penting. Pentingnya adalah penguasaan pasar atas hajat hidup orang banyak. Itu gagasan saya dan waktu itu saya ingin pisahkan entitas bisnis dengan entitas politik. Saya tidak ingin BUMN dijadikan bagian bagi-bagi rezeki. Jangan sampai entitas ini diintervensi masuk politik,” ujarnya.
Tapi malah kesini 2001 kemari gagasan pembentukan Holding itu sudah bergeser. Bertujuan menciptkan nilai pasar perusahaan. “saya nggak setuju saat pencipatan nilai perusahaan motif akan IPO motif modal padahal,” tandasnya.
Dia menjelaskan ada dua keunggulan Indonesia terhadap hajat hidup orang banyak yakni keunggulan pada sumber daya tinggi dan pasar captive yakni 220 juta penduduk yang menggiurkan orang luar.
“Dan itu berhasil dilakukan China. China berhasil menciptakan sumber dayanya dalam bentuk ketahanan atas sektor-sektornya tapi sekaligus mempertahankan pasarnya. Jadi China melakukan strategi besar ketika dia memenangkan perang dagangnya dengan Amerika. Dia mempertahankan sumberdaya sekaligus mempertahankan pasarnya bersamaan menciptakan produktivitas pada penduduk. Sehingga macam-macam dibuat disitu seperti Apple. Nah Indonesia tidak, pasarnya dilepas akibat seperti sekarang,” tukasnya.