BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com – Seorang buruh migran Indonesia, Kartika Puspitasari yang dipukuli dan dibakar oleh mantan majikannya di Hong Kong akhirnya mendapatkan ganti rugi lebih dari $110.000 atau setara dengan Rp 1,66 miliar pada Jumat (10/02/2023).
Kartika Puspitasari kini tinggal Padang, Sumatera Barat (Sumbar) bersama suami dan tiga anaknya. Dia menangis saat menerima kabar tersebut melalui panggilan video.
“Saya telah menunggu selama 10 tahun dan akhirnya doa saya terkabul,” katanya dilansir dari VOA Indonesia.
Dia kembali ke Tanah Air pada 2014 tanpa menerima upah apapun. Pada Jumat (10/2), seorang hakim memutuskan bahwa Kartika telah “diperlakukan secara tidak manusiawi” dan memberinya ganti rugi sebesar HK$868.607 ($110.650).
Meskipun uang ganti rugi itu tak sebanding dengan penderitaan yang dia alami. Dalam kesempatan itu, dia juga berterima kasih kepada pengacara dan teman-temannya.
“Tidak sebanding dengan luka fisik dan mental yang saya derita,” lanjutnya. Ada bekas luka hitam yang menonjol di punggung, perut, dan lengan kirinya
Akibat penyiksaan yang diterimanya, Kartika Puspitasari, didiagnosis dengan gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder/PTSD)
Dalam kasus tersebut, Majikan Kartika telah dijatuhi hukuman penjara pada 2013. Majikan Kartika, pasangan suami dan istri telah menyelesaikan hukuman masing-masing tiga setengah dan lima setengah tahun.
Mereka membakar wanita berusia 40 tahun itu dengan besi, memukulinya dengan rantai sepeda dan menyerangnya dengan pisau pemotong kertas.
Tindakan yang tidak manusiawi dialaminya selama dua tahun. Kartika awalnya tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Penyiksaan yang dideritanya baru terungkap setelah dia mencari perlindungan ke konsuler.
“Seharusnya mereka dihukum dengan hukuman yang lebih berat, seperti penjara minimal 20 tahun, karena mereka menyiksa dan ingin membunuh saya,” tambah Kartika.
Dengan uang ganti rugi itu, Kartika berencana menggunakannya untuk mengobati bekas lukanya, dan kemudian membuka usaha kecil-kecilan menjual barang.
Kartika menegaskan dia tidak bisa melupakan apa yang terjadi padanya di Hong Kong. “Luka mental saya belum pulih sepenuhnya karena saya masih merasakan ketakutan,” ujarnya
Eni Lestari, juru bicara Badan Koordinasi Migran Asia di Hong Kong, mengatakan kompensasi itu adalah “jumlah terbesar sejauh ini” yang diterima oleh salah satu pekerja rumah tangga dalam kasus pelecehan.
Dia menyebut perlakuan terhadap Kartika memang ekstrem, tetapi “tidak mengisolasi”.
“Kami benar-benar meminta pemerintah Hong Kong meninjau kembali kebijakan mereka untuk mempercepat proses hukum semacam ini, dan untuk memastikan korban pada akhirnya mendapatkan kompensasi yang layak mereka terima.”
Secara hukum, diperkirakan 340.000 pekerja rumah tangga migran Hong Kong, terutama perempuan dari Indonesia dan Filipina, dibayar di bawah upah minimum regional.
Mereka diharuskan tinggal bersama majikan mereka, yang menyulitkan beberapa pekerja yang mendapat majikan yang tidak bersahabat untuk melarikan diri.
Kelompok HAM telah mencatat serangkaian praktik pelanggaran terhadap pekerja rumah tangga di kota pusat keuangan itu, termasuk perdagangan manusia, kerja paksa, pelecehan seksual dan pemukulan.
Sementara pemberian ganti rugi seperti yang terjadi pada kasus Katika jarang sekali terjadi, bukan tanpa preseden.
Pada 2017, pengadilan Hong Kong memberikan $103.400 kepada Erwiana Sulistyaningsih, yang disekap, kelaparan, dan dipukuli hingga kehilangan kendali atas fungsi tubuhnya.
Namun sebagian besar korban tidak mampu menuntut ganti rugi di Hong Kong, terutama setelah visa mereka berakhir pada akhir kontrak mereka, kata para aktivis.
Sringatin, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia, mendesak aparat berwenang Hong Kong untuk berbuat lebih banyak untuk mendukung mereka.
“Kami berharap pemerintah Hong Kong dapat mereformasi peraturan untuk memastikan pekerja migran dapat dengan mudah melapor ketika menjadi korban pelecehan, atau membuat peraturan untuk memastikan pekerja rumah tangga dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan tanpa meninggalkan Hong Kong,” katanya setelah putusan pada Jumat (10/02/2023).
sumber VOA Indonesia