MUARA PEGAH, Inibalikpapan.com— Miris mendengar cerita guru-guru SD swasta Muara Pegah, RT 11 Kelurahan Muara Kembang Kecamatan Muara Jawa, Kabupaten Kukar, Kaltim. Meski serba keterbatasan dan minim fasilitas serta kesejahteraan guru, mereka masih semangat mengajar dengan kecerian demi pendidikan anak-anak Muara Pegah.

Cerita mereka ungkapkan dengan lepas dan santai diselingi dengan tawa ketika media dari Balikpapan, Tenggarong dan Samarinda berkunjung ke SD tempat mereka mengajar di Muara Pegah untuk lebih melihat langsung dari dekat program Pertanggungjawaban Sosial PHM, Kamis lalu (3/10).

Lokasi berada di muara dan mereka tinggal di pulau terpencil atau berjarak kurang 20 km dari Muara Jawa Hadil Darat. Jika ditempuh kapal membutuhkan waktu 20 menit. Dari lokasi desa Muara Pegah jika ke arah timur akan ketemu laut selat Makasar yang berjarak kurang lebih 3-4 mil. Jumlah penduduk sekitar 203 jiwa dengan jumlah 49 kepala keluarga (KK).

Dibangun Orang Total kini PHM

SD Muara Pegah awalnya dibangun dari keprihatinan pekerja Total yang melihat anak-anak belajar didepan rumah tapi tanpa sekolah sebelum tahun 1996 silam.

“Sebenarnya anak-anak sudah sekolah dihandil darat tapi waktu itu ada ada kecelakaan ditabrak motor meninggal. Orang tua disini pada takut akhirnya semua berhenti sekolah,” tutur Sudirman Ketua RT 11 Muara Pegah bercerita.

Dari situlah, tidak ada lagi anak-anak yang bersekolah namun mereka belajar di rumah tanpa guru. Hanya diajarkan oleh orangtua mereka untuk melanjutkan baca tulis.

“Waktu itu ada orang total kebetulan itu saya waktu kecil lagi nulis –nulis di depan rumah kebetulan bapak saya kalau malam ngajarin saya. Orang Total itu melihat saya belajar di rumah tanpa ada sekolah. Dia (Total) mungkin terinspirasi itu,” cerita Yanti kelahiran 1988 yang kini mengajar kelas IV di Muara Pegah sejak 2005 lalu dan sudah melanjutkan pendidikan di PGSD.  

Yanti salah satu guru yang ditinggal di desa Muara Pegah, meski sekarang tengah hamil 9 bulan menunggu kelahiran, dia tetap semangat mengajar demi anak-anak sekitarnya untuk mengenyam pendidikan bagi masa depan. “Saya murid disini juga. Waktu itu saya sekolah muridnya sedikit, ” tuturnya.

Awalnya,  bangunan sekolah itu  dibangun dari kayu-kayu sisa jembatan dan bahan lainya. Namun  kemudian Perusahaan Toatal membangun  sekolah ini dengan tiga ruang kelas, ukuran sesuai dengan jumlah muridnya tidak lebih dari 20 siswa.

Sekarang ini keberadaan sekolah swasta ini, kini dikelola Yayasan PGRI. Sekolah  bukan tidak mendapatkan bantuan dari pihak lain. Bahkan Total yang kini menjadi PHM,  selain membangunkan sekolah juga melakukan renovasi dan menambah rombel menjadi enam ruang belajar, pemberian bantuan computer, buku-buku termasuk memfasilitasi tranportasi air bagi 6 guru yang pulang pergi mengajar di SD Muara Pegah.  

Sedangkan tiap bulan, sebanyak delapan guru mendapatkan bantuan sembako dari Pos Angkatan Laut yang berada di kampung mereka termasuk bantuan kapal kayu.

Hanya saja saat media mengunjungi  sekolah ini guru dan murid sangat membutuhkan meja kursi.   Muridnya memang di tahun 2019 hanya 42 orang, 15 diantaranya berasal dari desa lain yakni Muara Ulu Kecil dan Besar yang jarak tempuhnya sekitar 1 jam ke lokasi sekolah Muara Pegah juga menggunakan transportasi laut.

Menurut Kepala Sekolah SD Muara Pegah Sukmawati, akibat kekurangan meja dan kursi, murid kelas II yang berjumlah enam orang harus belajar tanpa meja dan kursi.

“Jumlah murid kita hanya 42 orang. SD kelas I paling banyak 11 orang,  kelas II ada enam siswa tapi meja hanya 1 saja. Sangat dibutuhkan meja kursi,” ungkapnya.

Sedangkan dana Bos menurutnya pas-pasan hanya untuk gaji guru.  “ Kalau beli meja guru nggak gajian,” tuturnya.

Meski hanya tiga siswa, guru SD Muara Pegah tetap mengabdi untuk masa depan anak-anak Muara Pegah

Honor Rp270 ribu Perbulan, Minus Fasilitas

Meski keberadaan sudah sejak 1996 lalu,  guru-guru tidak mendapatkan gaji sesuai UMK. Mereka tiap bulannya mendapat honor Rp270 ribu atau jika dihitung perhari mereka mengajar diberikan honor Rp10 ribu.

 Semuanya diperolah dari dana BOS Kabupaten dan kadang dana bos pusat yang diperoleh setiap tiga bulan sekali.

“Perhari 10 ribu coba pak, guru mana yang bertahan jauhnya ngajar kayak begini. Penuh perjuangan memang,” tandas kepala sekolah yang bercerita sambil tersenyum didampingi sejumlah guru lainya.

Sukmawati menghitung kebutuhan meja kursi yang dipakai siswa sebenarnya kurang memadai bahkan cendrung  kurang nyaman. Sedikitnya dibutuhkan 21 meja dan kursi.

“Ada meja cuma pada rusak. Terus meja yang dipakai anak-anak ini paku meja sudah kelihatan sampai anak-anak kena. Kasian mereka untuk perbaikan kita nggak ada biayanya,”  ungkapnya. 

Selain itu,  sekolah yang sangat sederhana ini tidak dilengkapi toilet sekolah.  ” Dulu ada tapi rusak kalau mau ke wc pulang masing-masing, ” bebernya. 

Sukmawati juga bercerita di sekolahnya terdapat 15 siswa dari desa Muara Ulu Kecil dan besar.  Jaraknya lebih jauh yakni membutuhkan 1 jam perjalanan lewat Muara ke SD Muara Pegah. 

Karena alasan jauh dan hanya melalui jalur laut atau Muara,  15 siswa diberikan toleransi ke sekolah 3 hari dalam sepekan yakni Senin,  Rabu dan Jumat.

“Iya kemarin dikasih bantuan kapalnya dari  Angkatan laut ya dan bahan bakar. Jaraknya sejam jauh itu pak Muara Ulu Kecil dan Besar,” ungkap Sukmawati. 

Bersambung

Comments

comments

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Exit mobile version