Perempuan Rentan Terjerumus Aksi Radikalisme dan Terorisme

Terorisme / inu.or.id

JAKARTA, Inibalikpapan.com – Dalam sepekan ini, masyarakat dikejutkan dengan aksi terorisme dan radikalisme yang secara berturut-turut terjadi di dua lokasi, yaitu di gerbang Gereja Kathedral, Makassar dan di Mabes Polri, Jakarta. Kedua aksi terorisme dan radikalisme ini melibatkan perempuan sebagai pelakunya.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Ratna Susianawati mengungkapkan maraknya pelibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme, membuktikan perempuan lebih rentan terjerat.

Untuk itu, diperlukan upaya pencegahan dari seluruh elemen masyarakat, khususnya melalui penguatan ketahanan keluarga sebagai unit terkecil dan pertahanan pertama dalam masyarakat.

“Adanya fenomena peningkatan pelibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme menunjukan perempuan lebih rentan terlibat dalam persoalan ini,” ujarnya

“Hal ini disebabkan karena faktor  sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta adanya doktrin yang terus mendorong bahkan menginspirasi para perempuan, hingga akhirnya mereka nekat melakukan aksi terorisme dan radikalisme,” ujarnya

Menurutnya, kerentanan dan ketidaktahuan perempuan juga turut menjadi sasaran masuknya pemahaman dan ideologi menyimpang, sehingga mereka kerap dimanfaatkan dalam aksi radikalisme dan terorisme.

“Selain itu, keterbatasan akses informasi yang dimiliki dan keterbatasan untuk menyampaikan pandangan dan sikap, juga turut menjadi faktor pemicu,” ujarnya

“Disinilah pentingnya ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik untuk membangun karakter anak dengan menginternalisasi nilai-nilai sesuai norma hukum, adat, agama, dan budaya,”

Lebih lanjut Ratna menilai ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik, sangat dibutuhkan sebagai pondasi dan filter dalam pengasuhan anak di keluarga.

“Apalagi dengan kemajuan teknologi dan informasi saat ini, serta bervariasinya modus-modus kejahatan baru. Oleh karena itu orangtua harus bisa menjalin hubungan baik dengan anak, mengawasi dan mengontrol anak,” ujarnya

“Memberikan edukasi, menerapkan pola komunikasi yang terbuka dan mudah dipahami, menerapkan pola pengasuhan dengan kesiapsiagaan, dan mendeteksi risiko karena banyak perempuan yang tidak tahu apa saja risiko yang akan ia hadapi, mengingat minimnya pengetahuan.”

 Dia menambahkan, untuk menangani persoalan terorisme dan radikalisme di Indonesia, pemerintah tentunya tidak bisa bergerak sendiri. “Pentingnya sinergi semua pihak baik civil society (masyarakat sipil) untuk bergerak secara masif dan berkelanjutan,” ujarnya

“Khususnya dengan melakukan sistem deteksi dini (early warning system) karena persoalan terorisme dan radikalisme ini merupakan tantangan besar kita dalam menghasilkan SDM berkualitas. Mari kita bersinergi lindungi perempuan dari bahaya terorisme dan radikalisme, demi mewujudkan Generasi Emas Indonesia pada 2045. Jika perempuan berdaya, anak terlindungi, saya yakin Indonesia pun akan maju.”

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.