BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com – Pasca konflik antara Israel dan Hamas berita hoaks atau fake news mulai dari foto hingga video membanjiri media sosial.
Pakar media sosial Universitas Indonesia Firman Kurniawan angkat suara. Dia menyatakan misinformasi dan disinformasi saat perang bukan hal yang baru.
Namun dia menilai berita hoaks yang beredar terkait konflik di Gaza saat ini sudah sangat berbahaya, karena menyentuh hal sensitif seperti politik identitas dan agama.
“Sebetulnya fake news di saat perang bukan hal baru karena di abad ke-31 sebelum Masehi, sudah terjadi di Kerajaan Romawi, sehingga ada jargon – ketika perang terjadi, kebenaran adalah korban yang pertama,” ujarnya membuka wawancara dengan VOA dilansir inibalikpapan.
Pakar Komunikasi Digital ini mengungkapkan, ada tiga cara yang membuat produksi berita hoaks dalam perang di Gaza ini begitu masif.
“Pertama, masyarakat berada dalam ketidakseimbangan informasi, yaitu ketika ada suatu peristiwa besar terjadi dan masyarakat sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ujarnya.
“Kedua, ketika mereka yang terlibat peperangan – dalam hal ini Hamas dan Israel – sama-sama ingin mendapat dukungan publik. Walaupun tindakan mereka dibungkus dengan alasan misi kemanusiaan misalnya, mereka masih membutuhkan persetujuan publik bahwa tindakan itu benar untuk kemanusiaan,”lanjutnya.
“Ketiga, ketika semua orang bisa memproduksi dan mendistribusi informasi. Hari ini ketiga titik itu bertemu sehingga ketika satu pihak menghendaki adanya dukungan, diproduksi lah informasi yang secara emosional dapat mendorong dukungan,”sebutnya.
Sementara Pengamat media yang juga mantan wartawan senior Kompas, Satrio Arismunandar, memiliki pandangan yang sama, Dia menyebut, bahwa fake news yang meluas dengan cepat, bukan fenomena baru.
“Hanya saja ketika sekarang ada berbagai perangkat media dan teknologi informasi yang canggih, jadi semakin dipermudah. Israel dan Hamas tentunya punya semacam humas atau perangkat propaganda, tetapi yang sekarang ramai itu justru mereka-mereka yang inisiatif sendiri, yang tidak bisa dikontrol karena menyentuh emosional mereka,” ujarnya.
“Ini berbeda dengan saat perang Ukraina-Rusia, yang tidak tidak terlalu menyentuh warga Indonesia. Tetapi lain ketika bicara soal Palestina, atau Bosnia, yang langsung membangkitkan emosi warga kita,”
Twitter atau X disebut-sebut sebagai platform media sosial paling banyak terdapat klaim dan petikan berita yang menyesatkan dan gambar atau foto yang direkayasa terkait konflik di Gaza.
Ruslan Trad, resident fellow di Atlantic Council’s Digital Forensic Research Lab mengatakan kepada Reuters, tanpa piranti itu, para peneliti kini harus menganalisa ribuan tautan secara manual.
Uni Eropa pada Selasa (10/10) mengeluarkan peringatan kepada Elon Musk atas dugaan membiarkan meluasnya disinformasi mengenai konflik di Gaza, termasuk fake news dan “gambar-gambar lama yang telah direkayasa” di X.