Top Header Ad

Menyemai Budaya Baca dari Balikpapan, Ketika Buku, Anak-anak, dan Taman Kota Bertemu dalam Gerakan Literasi

Antusias warga Balikpapan memanfaatkan fasilitas perpustakaan keliling untuk membaca segala jenis buku. (Foto:Danny/Inibalikpapan.com)

Oleh: Ramadani

DI sebuah taman kota yang rindang di jantung Balikpapan, suara tawa anak-anak bersahutan. Beberapa dari mereka duduk bersila di atas tikar sambil memegang buku cerita bergambar. Ada yang membaca pelan-pelan, ada pula yang mendongeng ulang kepada temannya. Hari itu, bukan guru mereka yang menjadi narator, melainkan seorang pustakawan dari Dinas Perpustakaan dan Arsip (Disputakar) Kota Balikpapan.

Inilah wajah baru dari upaya membangkitkan budaya literasi di kota minyak: membumikan membaca agar dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama generasi muda.

“Kami ingin anak-anak tumbuh dengan perasaan bahwa membaca itu menyenangkan, bukan beban,” ujar Kartini, Kepala Bidang Perpustakaan Disputakar Balikpapan, Jumat (9/5/2025).

Pandemi COVID-19 yang sempat melanda dunia memang membawa dampak signifikan bagi banyak sektor, tak terkecuali perpustakaan. Kunjungan fisik sempat anjlok drastis. Namun, bagi Disputakar, itu bukan akhir. Justru menjadi momentum untuk menyusun ulang strategi, dengan lebih menekankan pendekatan yang komunikatif, atraktif, dan adaptif.

Salah satu jurus jitu yang diterapkan adalah lomba literasi. Disputakar menggandeng sekolah-sekolah untuk mengadakan berbagai kompetisi, mulai dari lomba menulis cerita pendek, mendongeng untuk siswa SD kelas 4–5, hingga lomba pidato Bahasa Indonesia untuk siswa SMP.

Bagi Kartini dan timnya, lomba ini bukan sekadar adu kemampuan. Lebih dari itu, ia adalah alat untuk mendorong anak-anak menyelami kata-kata, menata ide, dan mengekspresikan diri. “Literasi bukan hanya tentang membaca, tapi juga menulis, berbicara, dan berpikir kritis,” katanya.

Respons sekolah dan siswa cukup positif. Banyak yang mengaku bahwa ini kali pertama mereka terlibat dalam lomba semacam itu. Anak-anak jadi lebih percaya diri. Beberapa bahkan menunjukkan bakat yang selama ini terpendam.

Wisata Edukasi: Jalan-Jalan ke Perpustakaan

Upaya lainnya adalah menyelenggarakan program “wisata edukasi” untuk siswa dari jenjang TK hingga SMA. Dalam kegiatan ini, murid-murid diajak berkunjung langsung ke perpustakaan. Di sana, mereka dikenalkan dengan cara meminjam buku, menonton film edukasi, bermain kuis literasi, hingga mengikuti sesi mendongeng interaktif.

Tujuannya sederhana tapi berdampak: membuat anak-anak merasa bahwa perpustakaan adalah tempat yang seru dan ramah. “Kami melakukan pelayanan agar mereka tumbuh minat membaca sejak dini,” tutur Kartini.

Wisata edukasi ini menjadi titik temu antara dunia pendidikan formal dan nonformal. Beberapa sekolah bahkan menjadikannya bagian dari agenda tahunan. Anak-anak pulang tidak hanya membawa cerita, tapi juga membawa keinginan untuk kembali membaca.

Menyadari bahwa tidak semua orang punya waktu atau akses untuk datang ke perpustakaan, Disputakar mengambil langkah lain: memperbanyak titik baca di ruang publik. Taman kota, area bermain, bahkan halte kini mulai dilengkapi dengan rak buku dan pojok baca mini.

“Kalau masyarakat belum bisa datang ke perpustakaan, maka perpustakaan yang datang kepada mereka,” ujar Kartini.

Langkah ini mendapat sambutan hangat. Banyak orang tua yang memanfaatkan momen akhir pekan untuk mengajak anak membaca di taman. Anak-anak pun mulai mengenal buku sebagai teman yang bisa hadir di mana saja.

Namun di balik segala pencapaian itu, tantangan besar masih membayang. Ketersediaan bahan bacaan yang berkualitas masih menjadi masalah, baik di sekolah maupun perpustakaan umum. Sebagian besar koleksi masih didominasi buku pelajaran, sementara buku pengayaanyang penting untuk memperluas wawasan jumlahnya sangat minim.

“Buku-buku pengayaan di sekolah masih belum memadai. Ini membuat siswa kesulitan mendapatkan bacaan alternatif di luar materi pelajaran,” kata Kartini.

Disputakar juga terus menambah koleksi pustaka yang variatif dan relevan. Dari fiksi hingga nonfiksi, dari ensiklopedia anak hingga buku sains populer. Namun, kebutuhan masyarakat yang terus berkembang membuat pengadaan koleksi harus berpacu dengan waktu dan anggaran.

Antara Teknologi dan Tradisi

Di tengah geliat digitalisasi, perpustakaan pun dituntut untuk bertransformasi. Disputakar mulai merintis layanan berbasis teknologi, seperti katalog digital, e-book, dan aplikasi perpustakaan online. Tapi Kartini menegaskan, keberadaan perpustakaan fisik tetap penting.

“Teknologi penting, tapi sentuhan fisik dengan buku dan interaksi langsung di perpustakaan punya nilai tersendiri. Kami ingin menyeimbangkan keduanya,” jelasnya.

Anak-anak yang pernah duduk bersila di ruang baca, menyimak dongeng atau menjelajah buku dengan jari-jari kecil mereka, adalah bukti bahwa dunia literasi tidak akan hilang meski zaman berubah. Buku tetap punya daya tariknya sendiri jika disampaikan dengan cara yang tepat.

Upaya Disputakar ibarat menyalakan lilin kecil di tengah luasnya kegelapan. Tidak semua tantangan bisa langsung diselesaikan. Tapi dengan langkah-langkah konsisten, perlahan cahaya itu bisa meluas.

Budaya baca bukan hanya soal bisa membaca, tapi juga soal keinginan untuk terus belajar dan menggali makna. Dan Balikpapan, melalui kerja keras para pustakawannya, sedang menyemai harapan itu. Dari taman ke ruang kelas, dari perpustakaan ke rumah-rumah, benih literasi terus tumbuh dan masa depan pun bersinar lebih cerah.***

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses