Orangutan yang Tak Bisa Kembali ke Hutan Disiapkan Pulau Buatan

KUTAI TIMUR, inibalikpapan.com – Yayasan Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) tengah menyiapkan pulau-pulau buatan bagi sekitar 100 orangutan yang tidak bisa kembali ke alam liar. Mereka adalah individu-individu yang mengalami gangguan kesehatan, trauma, hingga perilaku agresif yang menyulitkan proses pelepasliaran.
“Dari sekitar 350 orangutan yang kami rawat, ada sekitar 100 yang tidak bisa kita lepasliarkan. Untuk mereka, kami merencanakan pembangunan pulau-pulau seperti yang ada di belakang kita ini. Agar mereka tidak hidup di kandang, tapi bisa merasa tinggal di hutan,” kata CEO BOSF Jamartin Sihite.
Pulau-pulau tersebut akan menjadi ruang hidup semi-alami yang lebih layak ketimbang kandang. BOSF saat ini telah mengelola 12 pulau, empat di antaranya berada di Kalimantan Tengah. Tiap pulau umumnya berada di tengah sungai, dengan luas minimal lima hektare dan vegetasi buah sebagai sumber makanan alami orangutan.
Menurut Jamartin, pembangunan pulau baru membutuhkan kajian lokasi dan dana besar. BOSF mengandalkan donasi publik karena dana pemerintah tak bisa langsung tersalur akibat aturan. Namun, dukungan kebijakan dan regulasi menjadi bentuk kontribusi negara yang penting.
“Misalnya dengan Undang-Undang Nomor 32, area rehabilitasi bisa ditetapkan sebagai area preservasi,” jelasnya.
Jamartin menegaskan, pulau buatan bukan bagian dari strategi pelepasliaran, melainkan solusi akhir bagi orangutan yang tak lagi bisa kembali ke hutan. Sementara untuk pelepasliaran individu liar, perlu pembukaan kawasan konservasi atau pemanfaatan lahan seperti HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang bisa dikelola dengan pendekatan konservasi.
Mayoritas Korban Konflik Manusia-Satwa
Lebih dari 90 persen orangutan di pusat rehabilitasi BOSF merupakan korban konflik manusia, baik dari peliharaan ilegal maupun dari habitat yang terganggu proyek pembangunan. Salah satu kasus terbaru datang dari Kutai Timur: seekor orangutan kurus dari kawasan tambang. Karena kondisinya lemah, ia harus mendapat pemulihan di Pusat Rehabilitasi Samboja.
“Kita tidak bisa sembarang kirim orangutan ke hutan. Harus dicek dulu kesehatannya. Kalau sampai mati, bukan hanya reputasi BOSF yang hancur, tapi juga reputasi bangsa,” ujarnya.
Beberapa individu telah tinggal di pusat rehabilitasi selama puluhan tahun. Salah satunya telah menjalani perawatan selama 29 tahun karena perilaku agresif yang sulit terkendali.
Jamartin juga mengingatkan bahwa menurunnya konflik manusia-orangutan tidak selalu berarti membaik. “Bisa jadi populasinya memang sudah habis,” kata dia.
“Orangutan adalah milik negara. Maka sudah sepatutnya kita bertanggung jawab menjaga mereka, karena ini bukan hanya soal satwa, tapi juga kehormatan bangsa,” tutup Jamartin.***
BACA JUGA