BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com – Dalam peringatan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day (WPFD) hari ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyerukan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Tanpa perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan pers dapat membahayakan hak asasi manusia lainnya.
Peringatan WPFD secara global tahun ini mengangkat tema: Membentuk Masa Depan Hak Asasi: Kebebasan berekspresi sebagai pendorong semua hak asasi manusia lainnya. Peringatan tahun ini sekaligus bertepatan dengan 30 tahun penetapan 3 Mei sebagai Hari Kemerdekaan Pers Internasional oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa, sekaligus memperingati 75 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Kebebasan pers menjadi bagian penting dalam kebebasan berekspresi yang tercantum dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai hak untuk mencari, menerima, memberikan informasi dan gagasan melalui media apapun dan tanpa memandang batas.
Selain itu, di Indonesia, peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia bersamaan dengan momen menjelang 25 tahun Reformasi. Reformasi 1998 menjadi momen keruntuhan pemerintahan otoriter Orde Baru di bawah Soeharto dan membawa Indonesia ke pemerintahan demokrasi. UU Hak Asasi Manusia dan UU Pers lahir pada 1999, dua undang-undang penting sebagai jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, termasuk kebebasan pers.
Akan tetapi, alih-alih bergerak maju, demokrasi Indonesia justru mundur ditandai dengan digunakannya sejumlah regulasi untuk menghambat kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Di antaranya UU Nomor 1 Tahun 1946, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Kominfo 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Privat, UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
UU ITE masih menjadi undang-undang yang berbahaya bagi jurnalis online maupun mereka yang menyampaikan kritiknya di media sosial. AJI mencatat sejak UU ITE lahir pada 2008 dan direvisi pada 2016, sedikitnya 38 jurnalis dilaporkan dengan pasal-pasal bermasalah di UU ITE, dan empat di antaranya dipenjara karena dinyatakan bersalah oleh Pengadilan.
Serangan terhadap jurnalis dan organisasi media Independen tak kunjung berakhir. Tahun 2022, AJI Indonesia mencatat jumlah serangan mencapai 61 kasus dengan 97 jurnalis menjadi korban dan 14 organisasi media menjadi target serangan. Pada Januari 2023 hingga 30 April 2023, terdapat 33 kasus, meningkat dibandingkan periode yang sama pada 2022 sebanyak 15 kasus.
Kondisi yang sama juga dialami pembela Hak Asasi Manusia dan kelompok kritis lainnya yang menjadi target kriminalisasi, serangan digital, disinformasi dan berbagai upaya delegitimasi lainnya karena menyampaikan pendapat dan ekspresinya yang sah secara online maupun offline.
Padahal kebebasan berekspresi dan kebebasan pers sebagai pendukung bagi hak asasi lainnya di Indonesia yang sedang mengalami berbagai dampak atas krisis iklim, kesenjangan ekonomi, korupsi, polarisasi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, diskriminasi pada kelompok rentan, serta maraknya gangguan informasi.
“Hari Kemerdekaan Pers 2023 menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dan kebebasan pers saling bergantung, saling terkait, dan tak terpisahkan dengan hak asasi manusia lainnya,” kata Ketua Umum AJI, Sasmito pada 2 Mei 2023.
Dengan latar belakang tersebut, AJI mendesak:
1. Pemerintah dan DPR RI untuk mencabut dan atau membatalkan berbagai regulasi dan pasal-pasal bermasalah yang menghambat kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, utamanya UU ITE, PP 71 Tahun 2019 dan Permenkominfo 5/2020, UU Cipta Kerja;
2. Presiden RI dan Kepala Kepolisian RI menghentikan seluruh kasus pemidanaan terhadap jurnalis dan pembela HAM karena karya jurnalistik dan ekspresinya yang sah;
3. Presiden RI dan Kepala Kepolisian RI untuk mengusut secara transparan dan independen kasus-kasus serangan fisik dan digital terhadap jurnalis dan pembela HAM;
4. Pemerintah membuat mekanisme perlindungan terhadap pembela HAM, di dalamnya termasuk jurnalis, dengan melibatkan lembaga-lembaga negara lain terkait, komunitas pers, dan masyarakat sipil independen lainnya.
5. Pemilik media untuk tidak mengintervensi ruang redaksi dengan tidak menyensor karya jurnalistik dan opini yang kritis;
6. Seluruh jurnalis untuk patuh terhadap Kode Etik Jurnalistik, memberikan ruang pemberitaan bagi mereka yang tidak dapat bersuara, dan mengarusutamakan isu-isu publik dalam seluruh pemberitaan.